Sayangnya, aku masih ingat apa kostummu saat mengecat tembok
kelas, 19 tahun lalu. Kaos putih identitas sekolah, celana pendek, topi bermotif loreng, dan tas selempang kecil berwarna hijau. Satu lagi, sepatu kets putih. Cakep. Aku sangat yakin dirimu perempuan terayu sedunia saat itu.
Minggu pagi ini nampaknya akan berakhir ceria. Aku punya sekian menit untuk mengobrol denganmu. Tadi malam aku sudah berdoa minta keberanian kepada Tuhan.Tapi ternyata kok tidak terjadi. Acara bersih-bersih kelas ini, tak memberi kesempatan. Belum sempat menyusun tekad, rontok lah sudah. Sekompi teman-teman merubungimu, menutup ruang gerakku.
Rencana kedua, tentu ada. Menyerahkan sepucuk surat. Celakanya, ini pun kandas. Sepertinya hari ini semua berantakan. Empat jam selama mengecat pun mendadak menjadi acara yang sangat kubenci. Berlalu begitu saja, sampai bayangmu menghilang di balik asap knalpot motormu. Aku kalah bertaruh. Temanku tertawa tatkala traktiran tahu goreng wajib kukabulkan.
Ah, sudahlah. Tapi, esoknya, aku kembali disulut seorang teman. “Kalau dia mau diboncengin kamu pulang sampai rumahnya, kamu boleh bawa motorku,” tantang temanku itu. Taruhan yang kedua kali ini, sulit dibendung. Iseng-iseng berhadiah, ambil saja.
Atas kebaikan temanku itu, aku bisa meminjam motor bebeknya. Keluaran terbaru, belum genap tiga bulan dikeluarkan dari diler. Motor bututku kutitip sejenak padanya, lengkap dengan sekian panduan lisan jika nanti mesinya ngadat.
Minggu pagi ini nampaknya akan berakhir ceria. Aku punya sekian menit untuk mengobrol denganmu. Tadi malam aku sudah berdoa minta keberanian kepada Tuhan.Tapi ternyata kok tidak terjadi. Acara bersih-bersih kelas ini, tak memberi kesempatan. Belum sempat menyusun tekad, rontok lah sudah. Sekompi teman-teman merubungimu, menutup ruang gerakku.
Rencana kedua, tentu ada. Menyerahkan sepucuk surat. Celakanya, ini pun kandas. Sepertinya hari ini semua berantakan. Empat jam selama mengecat pun mendadak menjadi acara yang sangat kubenci. Berlalu begitu saja, sampai bayangmu menghilang di balik asap knalpot motormu. Aku kalah bertaruh. Temanku tertawa tatkala traktiran tahu goreng wajib kukabulkan.
Ah, sudahlah. Tapi, esoknya, aku kembali disulut seorang teman. “Kalau dia mau diboncengin kamu pulang sampai rumahnya, kamu boleh bawa motorku,” tantang temanku itu. Taruhan yang kedua kali ini, sulit dibendung. Iseng-iseng berhadiah, ambil saja.
Atas kebaikan temanku itu, aku bisa meminjam motor bebeknya. Keluaran terbaru, belum genap tiga bulan dikeluarkan dari diler. Motor bututku kutitip sejenak padanya, lengkap dengan sekian panduan lisan jika nanti mesinya ngadat.
Itu jika dalam skenario aku menang. Sayangnya tidak demikian. Entah mengapa, nampaknya kamu
memang sudah merancang sejak 100 tahun silam, bersiap menolak ajakanmu. “Nggak
mau. Ngapain?” sahutnya dengan nada tinggi, Ah, kalah taruhan lagi.
Kukembalikan anak kunci motor ke temanku, diriingi tatap iba meski
separuh mulut ingin memuntahkan tawa. “Next time better,” hiburnya, sembari menawarkan traktiran di kantin sekolah. Next better? Oke. Aku
harus tahu rumahnya di mana. Besok, manuver baru, begitu tekadku.
Keesokan hari, dia tidak membawa motor dua taknya. Sedikit diluar rencana, tapi tak masalah. Seorang teman menawarkan
bantuan untuk menemani, dengan perjanjian bahwa menjelang rumahnya, dia wajib “menghilang”. Deal, kami berangkat. Maksudnya menanti di tepi jalan, sebelum dia keluar sekolah..
Seiring langkah kakinya meloncat masuk ke mobil omprengan, gas pun
dipelintir. Menutup wajah rapat-rapat di balik helm, agar dia tidak tahu. Mirip
agen rahasia menguntit korbannya dalam film-film. Begitu dia turun dari
omprengan, kami pun menepi.
Dia meloncat lagi ke dalam bus, gas kembali menyalak. Bus berlari
kencang, meninggalkan raungan mesin motor butut yang memekik. Dia berganti
tumpangan ke omprengan lain, kami menepi lagi. Sampai akhirnya dia berjalan
menuju rumahnya.
Temanku harus “dienyahkan” dulu. Sekarang tinggal aku dan engkau.
Sekarang atau tidak sama sekali. Sedetik setelah di sampai di halaman rumah,
aku menyusulnya, dan langsung disambut kata-kata pedas. “Ngapain kamu nguntit
aku?”.
Tak lebih 15 menit, tanpa obrolan. Hanya selaksa tatapan yang sepertinya memaksaku hengkang. Ibumu keluar membawakan teh hangat untukku. Ramah mempersilakanku, meski sembari menatap heran ke arahmu. Mulutmu masih terkunci.
Selesai. Sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar