Senin, 08 Februari 2016

NGASEM

Setiap kali mudik ke Yogyakarta, setiap kali itu pula sambalbawang sempatkan mampir pasar-pasar tradisional. Sejenak menggali memori masa kecil. Semua berkesan: Pasar Ngading, Ngasem, Prawirotaman, hingga Rejodani.

Tidak ada lagi mbah-mbah tua penjual nangka di dekat tangga Pasar Ngasem yang kini wajahnya telah berubah, tak lagi seperti 30 tahun silam. Mbah penjual lopis di Pasar Ngasem yang waktu sambalbawang SD saja sudah sepuh, juga tak terlihat lagi. Kalau toh dia hidup, umurnya pasti sudah 100 lebih.

Mudik Bulan Januari lalu, sambalbawang hanya sempat menengok Pasar Rejodani dan Ngasem. Tetap berburu menu kesukaan, sayur daun singkong, cap cai, hingga bakmi. Oh ya cap cai di sini dalam artian cap cai murah, cap cai kelas bawah, yang lebih dikenal dengan nama “cap jaek”.  

Bakmi lethek-berwarna putih buthek-juga tak terlewatkan untuk dibeli. Termasuk bakmi kuning yang hanya dihiasi kubis, loncang, taburan bawang merah “sekenanya” dan sambal pedas yang rada cemplang rasanya. Tentu saja, porsi semua menu di atas, untuk anak-anak. Tahu kan, maksud sambalbawang.

Agenda paling menarik, setelah berbelanja menu printhilan tadi, adalah menikmatinya. Nah disinilah yang asyik, karena sambalbawang punya tempat favorit yakni di halaman belakang Pasar Ngasem. Ah, pasar ini akhirnya menjelma menjadi lebih indah, dan menyenangkan.

Duduk di kursi beton, di bawah rerindangan pohon, dengan latar belakang Taman Sari yang memesona. Ah, revitalisasi pasar ini memang tepat. Pasar Ngasem tak lagi identik dengan pasar burung dan satwa, namun para penjualnya pindah ke tempat baru di utara ringroad selatan, yang kini menjadi ikon baru.

Beruntungnya pernah mengalami wajah Ngasem dulu dan sekarang. Juga mencatat sejumput perubahannya dalam sejumlah berita yang saya tulis. Ngasem menjadi lebih bersih dan nyaman. Protes para pedagang yang dipindah, mereda seiring lokasi baru yang ternyata ramai juga.

Ah, jadi ingat pak Herry Zudianto, wali kota Yogyakarta. Sebelum revitalisasi pasar selesai, dia pernah bilang, lihat saja nanti hasilnya. Memang benar. Dan ketika beberapa waktu lalu sambalbawang bersua pak Herry di Samarinda, ah, terlihat betapa leganya dia. Warga Jogja beruntung pernah dipimpin walikota seperti dia.

Kembali ke Ngasem, pasar ini pun lebih memanusiakan pengunjung. Tersedia beberapa titik keran air, tempat sampah plastik, dan tempat parkir yang lumayan. Menyantap menu-menu janan pasar di halaman belakang pasar ini, nampaknya bakal menjadi rutinitas waktu mudik.

Ditambah lagi dengan para penjual yang gigih melancarkan kata-kata rayuan agar dagangannya dibeli. “Menika benguk, mubeng-mubeng njur tetenguk..” ujar salah satu pedagang jajan pasar yang selalu bisa menjadi partner gojek sambalbawang.

“Mboten,” sambalbawang menolak membeli benguknya. “Lha sampun kathah blanjanipun. Lha mangke bengukipun dingge sinten,” sambungku. Mbak penjual itu lalu menyahut,” Lha nggih dingge kegiatan...”. hahaha. Kami pun tertawa bareng.


Dan satu lagi yang bikin sambalbawang kangen adalah, para pedagang, terutama yang sudah rada sepuh, selalu mengatakan “matur sembah nuwun” setiap kali uang diterima pertanda jualannya dibeli. Ah, mengharukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar