Aku
selalu suka pada wangi bau tubuhmu setelah mandi. Tetapi aku lebih suka senyummu yang renyah mengembang. Lebih suka lagi dengan tawa ceriamu ketika menyambut setumpuk canda dariku. Wajah
tirus, rambut ikal berwarna hitam kelam, kerlingan, dan suara kecilmu itu.
Seperti itu
juga yang kujumpai malam ini. Matamu berbinar cerah ketika menerima sebatang coklat
dariku, yang hanya kubungkus dengan kertas kado bekas. Coklat kelas medium, yang kubeli usai mendapat honor sebagai asisten praktikum di kampus. “Eh, ibukmu jangan
sampai tahu, ya,” kataku, takut-takut. Dia mengangguk.
Aku selalu
suka kemari, meski itu harus mencari-cari waktu yang tepat, dan sering hanya sekelebat. Tentu saja, aku
tidak ingin kawan karibmu tahu. Bukan, bukan karena dia menyukaiku. Melainkan
dia, dan teman-teman sekelompok yang selalu bersama-sama seperti pasukan. Siap menertawakan apa saja yang dirasa janggal.
Mengapa coklat ini harus kuberikan kepadamu. Jadi, begini kira-kira sejumput kisahnya. Setahun
lalu, usai dentang bel sekolah, ketika aku mengayuh cepat sepedaku mengejar laju sepedamu. Hari itu aku kembali mendapat sedikit “ceramah” darimu. Aku, muda, kurus, 16 tahun, belum cukup paham mencerna kalimat darimu, yang seumuran denganku.
Tapi itu
setahun lalu, bukan? Dan kini, aku masih saja mendatangimu ke rumah. Pasti,
dengan tatapan menyelidik dari ibumu, yang segera lumer ketika aku membungkuk
dan bersalaman. Dan tak lupa, menyapa adikmu yang ceria itu.
Oh ya, kembali
ke coklat tadi, kamu bergegas menyimpannya di dalam lipatan sebuah majalah. “Bener
ya, coklatnya dimakan. Jangan dibagi, itu untuk kamu. Jangan ketahuan ibumu.
Malu,” kataku lagi. Dia tertawa.
Deretan gigi
yang rapi dan berwarna putih, adalah satu hal lagi yang kusuka darimu. Padu-padan
pakaian yang indah, melengkapi sore ini. Seperti biasa. “Aku suka dengan
hal-hal sederhana,” begitu penjelasanmu.
Aku percaya.
Dan coklat ini sebagai bukti, salah satu bukti untuk membenarkan hal itu. Kamu
pun tahu. Kesederhanaanmu itulah yang membuatku betah duduk di depanmu hingga
satu jam lebih. Satu jam lebih beberapa menit, aku harus pulang.
Aku tak
ingin membuat senyummu berkerut. Juga tak ingin membuat ibumu, juga bapakmu tak
lagi terkesan. Jadi, aku sudahi dulu perjumpaan ini. Perjumpaan, ya itu
istilahku yang dalam bahasamu barangkali hanya “dolan sejenak”.
Oh adikmu
melambai juga ke arahku. Tentu, dia mendapat lambaian juga dariku. Sekian menit
dari kunjunganku, memang untuk menyapa dia. Kadang, ingin kubisikkan sesuatu ke
telinga adikmu itu. “Kakakmu manis. Kakakmu baik...”
“Udah sana
pulang. Nggak enak lama-lama di depan pintu,” katamu. “Coklatnya, jangan lupa
dimakan. Jangan dibuang ke sampah. Janji, ya?” balasku. “Iya, janji. Aku juga
nggak akan bilang kalau dapat coklat darimu,” jawabmu.
Tiga kali
valentine aku memberikan coklat untukmu. Aku mendapatkan senyummu, tapi tidak
dirimu. “Kau tahu sebabnya....Tidak harus memiliki, kan,” begitu katamu. “Terima
kasih atas coklatnya, itu berarti bagiku...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar