Rabu, 17 Februari 2016

COKLAT VALENTINE - 3

Aku selalu suka pada wangi bau tubuhmu setelah mandi. Tetapi aku lebih suka senyummu yang renyah mengembang. Lebih suka lagi dengan tawa ceriamu ketika menyambut setumpuk canda dariku. Wajah tirus, rambut ikal berwarna hitam kelam, kerlingan, dan suara kecilmu itu.

Seperti itu juga yang kujumpai malam ini. Matamu berbinar cerah ketika menerima sebatang coklat dariku, yang hanya kubungkus dengan kertas kado bekas. Coklat kelas medium, yang kubeli usai mendapat honor sebagai asisten praktikum di kampus. “Eh, ibukmu jangan sampai tahu, ya,” kataku, takut-takut. Dia mengangguk.

Aku selalu suka kemari, meski itu harus mencari-cari waktu yang tepat, dan sering hanya sekelebat. Tentu saja, aku tidak ingin kawan karibmu tahu. Bukan, bukan karena dia menyukaiku. Melainkan dia, dan teman-teman sekelompok yang selalu bersama-sama seperti pasukan. Siap menertawakan apa saja yang dirasa janggal.

Mengapa coklat ini harus kuberikan kepadamu. Jadi, begini kira-kira sejumput kisahnya. Setahun lalu, usai dentang bel sekolah, ketika aku mengayuh cepat sepedaku mengejar laju sepedamu. Hari itu aku kembali mendapat sedikit “ceramah” darimu.  Aku, muda, kurus, 16 tahun, belum cukup paham mencerna kalimat darimu, yang seumuran denganku.

Tapi itu setahun lalu, bukan? Dan kini, aku masih saja mendatangimu ke rumah. Pasti, dengan tatapan menyelidik dari ibumu, yang segera lumer ketika aku membungkuk dan bersalaman. Dan tak lupa, menyapa adikmu yang ceria itu.

Oh ya, kembali ke coklat tadi, kamu bergegas menyimpannya di dalam lipatan sebuah majalah. “Bener ya, coklatnya dimakan. Jangan dibagi, itu untuk kamu. Jangan ketahuan ibumu. Malu,” kataku lagi. Dia tertawa.

Deretan gigi yang rapi dan berwarna putih, adalah satu hal lagi yang kusuka darimu. Padu-padan pakaian yang indah, melengkapi sore ini. Seperti biasa. “Aku suka dengan hal-hal sederhana,” begitu penjelasanmu.

Aku percaya. Dan coklat ini sebagai bukti, salah satu bukti untuk membenarkan hal itu. Kamu pun tahu. Kesederhanaanmu itulah yang membuatku betah duduk di depanmu hingga satu jam lebih. Satu jam lebih beberapa menit, aku harus pulang.

Aku tak ingin membuat senyummu berkerut. Juga tak ingin membuat ibumu, juga bapakmu tak lagi terkesan. Jadi, aku sudahi dulu perjumpaan ini. Perjumpaan, ya itu istilahku yang dalam bahasamu barangkali hanya “dolan sejenak”.

Oh adikmu melambai juga ke arahku. Tentu, dia mendapat lambaian juga dariku. Sekian menit dari kunjunganku, memang untuk menyapa dia. Kadang, ingin kubisikkan sesuatu ke telinga adikmu itu. “Kakakmu manis. Kakakmu baik...”

“Udah sana pulang. Nggak enak lama-lama di depan pintu,” katamu. “Coklatnya, jangan lupa dimakan. Jangan dibuang ke sampah. Janji, ya?” balasku. “Iya, janji. Aku juga nggak akan bilang kalau dapat coklat darimu,” jawabmu.

Tiga kali valentine aku memberikan coklat untukmu. Aku mendapatkan senyummu, tapi tidak dirimu. “Kau tahu sebabnya....Tidak harus memiliki, kan,” begitu katamu. “Terima kasih atas coklatnya, itu berarti bagiku...”   

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :
MAMMA MIA HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar