Keringat semakin deras keluar dari semua penjuru badan.
Benda beroda empat ini menggeram, meraung-raung seperti singa yang tidak tahu
harus berbuat apa. “Kopling, lepas. Gasnya, injak. Rem tangan, angkat, cepat. Gas,
gaass !!” bapak berulang memberi instruksi seperti komandan prajurit yang gemes
melihat anak buahnya kebingungan.
“Lho, kok malah mundur?” teriak bapak lagi yang langsung dibarengi “paduan
suara” klakson di belakang bersamaan suara berdecit, bersumber dari sekian ban yang dipaksa berhenti secara serentak.Terdengar aneka
“pisuhan” yang jauh dari kata merdu. Panik ! Kunci kontak langsung putar ke kiri, rem tangan pun angkat lagi ke atas. Dan, saya pun meloncat ke luar.
Meninggalkan bapak yang menyelesaikan semua urusan agar benda ini
tak melintang di simpang empat salah satu ruas jalan di Jogja. Suasana semakin chaos. “Mata’ne !!”
teriak seorang pengendara mobil. Saya hanya bisa berdiri gemetar di tepi jalan,
menunggu bapak meminggirkan mobil. Jelas ini pengalaman cukup buruk untuk saya yang
baru belajar nyetir dan langsung dipaksa ke jalan raya.
“Mobilnya enggak beres, pak,” protes saya ke bapak. Saya enggak paham apapun tentang
kendaraan, apalagi mobil. Tapi yakin mobil ini pasti kurang sehat. Di tahun segitu, mobil station wagon keluaran era awal
1980-an, yang notabene keluar setelah “era pikap trontong”, sudah termasuk
sepuh. Belum tua-tua amit sih. Tapi mobil ini sudah nampak payah, barangkali kurang dirawat pemilik sebelumnya.
Oke, baiklah, ini memang tentang daya beli dan kebutuhan, ketika bapak memutuskan membeli mobil berwarna hijau. Tapi masalahnya lebih
pada kondisi mobil—yang karena sesuai harga—jauh dibawah kondisi ideal, atau
normalnya kendaraan. Ada harga ada barang, memang tidak semata hanya ungkapan.
Gara-gara kondisi keuangan juga, bapak batal
langsung memasukkan mobil ke bengkel untuk servis besar. Hanya servis ringan.
Hanya sedikit lebih membaik, setidaknya dari volume dan warna asap yang berkurang. Masalah intinya jelas tak diselesaikan. Mesin 1.000 CC terasa kurang bertenaga, knalpot menyembur asap (agak)
hitam, rem depan-belakang masih kurang pakem, kopling yang “pendek”, hingga rem tangan yang kagak “menggigit”.
Getaran mesin juga tidak bisa stasioner. Kalau pedal gas enggak diinjak, deru mesin akan (langsung) mati. Komplet deh kisah “neraka” belajar nyetir. Tapi bapak bersikeras agar saya mulai belajar. “Sebelum mobil ini nanti mungkin dijual, kamu harus bisa nyetir,” kata bapak. Sebagai anak, saya hanya bisa nurut dan pasrah. Hari-hari mendebarkan pun selanjutnya terjadi. Again and again.
Getaran mesin juga tidak bisa stasioner. Kalau pedal gas enggak diinjak, deru mesin akan (langsung) mati. Komplet deh kisah “neraka” belajar nyetir. Tapi bapak bersikeras agar saya mulai belajar. “Sebelum mobil ini nanti mungkin dijual, kamu harus bisa nyetir,” kata bapak. Sebagai anak, saya hanya bisa nurut dan pasrah. Hari-hari mendebarkan pun selanjutnya terjadi. Again and again.
Harus saya akui, bapak punya skill lumayan untuk urusan nyetir.
Sejak tahun 1970 dan bahkan sampai terakhir kali memegang stir tahun 2014,
bapak tidak pernah mengalami insiden. Nyenggol saja belum pernah. Berkendara tanpa emosi dan selalu tidak pernah terlihat mengantuk. Parkir
pun bisa dibilang sekali jadi. Nyetir mobil yang “tidak beres” seperti ini,
sepertinya bukan masalah baginya.
Terlepas dari hiruk-pikuk belajar nyetir, akhirnya saya pun bisa. Horeee. Meski sebetulnya lebih tepat ke
berani nyetir daripada bisa nyetir. Kalau harus dikasih nilai, skil nyetir saya
di masa-masa awal itu pastilah (maksimal) 6. Tapi kalau urusan berani, bisa jadi lumayan (nekat). Skil (masih) minim tapi tak berpikir demikian.
“Skil itu dimulai dari sikil” begitu ‘kata pegangan’ saya. Btw gimana visual Suzi Carry th 1983/1984, seperti yang saya cantumin di atas. Nah Carry yang punya bapak saya, penampakannya jauh lebih buruk dari gambar mobil itu..
Bahkan hal terburuk mobil my lovely dad itu, selain tenaganya yang rada melempem adalah asap hitam pekat yang semakin menyembur "riang gembira" dari knalpot terlebih saat menanjak.Belum lagi bodi mobil yang rada bolong sana-sini sehingga panas mesin naik menghangatkan pantat, dan asap lolos menyeruak masuk kabin.
Semua kursi berderit, tak ada AC, plafon seperti tidak menempel atap, tak ada musik, hingga lantai yang tak terlapis karpet. Semua kaca sepertinya juga enggak rapat menempel, sehingga pada bergetar. Mungkin angkot pun masih lebih good looking--karena minimal ada piranti musiknya.
“Skil itu dimulai dari sikil” begitu ‘kata pegangan’ saya. Btw gimana visual Suzi Carry th 1983/1984, seperti yang saya cantumin di atas. Nah Carry yang punya bapak saya, penampakannya jauh lebih buruk dari gambar mobil itu..
Bahkan hal terburuk mobil my lovely dad itu, selain tenaganya yang rada melempem adalah asap hitam pekat yang semakin menyembur "riang gembira" dari knalpot terlebih saat menanjak.Belum lagi bodi mobil yang rada bolong sana-sini sehingga panas mesin naik menghangatkan pantat, dan asap lolos menyeruak masuk kabin.
Semua kursi berderit, tak ada AC, plafon seperti tidak menempel atap, tak ada musik, hingga lantai yang tak terlapis karpet. Semua kaca sepertinya juga enggak rapat menempel, sehingga pada bergetar. Mungkin angkot pun masih lebih good looking--karena minimal ada piranti musiknya.
Dan begitulah. Tapi dari mobil begitu itu, saya berlanjut ke petualangan selanjutnya yang seru. Belum genap sebulan bisa menjinakkan mobil
(dan dapat SIM), sebuah tantangan datang tanpa diundang. Seorang kawan, Vendy, mengajak, tepatnya meminta
saya nyetir mobil operasional kantornya untuk nganterin barang makanan. Dia
kerja di perusahaan yang mendistribusikan makanan.
Saya sih mengaku bisa nyetir, meski secara teknis ya cuma nyetir khusus maju. Urusan atret (memundurkan mobil), belum bisa mulus. Selalu bikin alur "ular" yang bikin siapa saja pemirsanya pasti akan mesam-mesem. Saya cuma paham menggerakkan tuas persneling-nya ke posisi “R” dan langkah berikutnya adalah gas tipis-tipis.Yang penting mobilnya mundur, berarti sudah bener mengoperasikan kopling, persneling, dan gas. Mundur ke arah mana, dan analisis jarak, itu mah, beda soal.
Saya sih mengaku bisa nyetir, meski secara teknis ya cuma nyetir khusus maju. Urusan atret (memundurkan mobil), belum bisa mulus. Selalu bikin alur "ular" yang bikin siapa saja pemirsanya pasti akan mesam-mesem. Saya cuma paham menggerakkan tuas persneling-nya ke posisi “R” dan langkah berikutnya adalah gas tipis-tipis.Yang penting mobilnya mundur, berarti sudah bener mengoperasikan kopling, persneling, dan gas. Mundur ke arah mana, dan analisis jarak, itu mah, beda soal.
Singkat cerita, tantangan tadi saya terima. Mobil boks Mitsubishi Colt L300 yang mesti saya kemudikan. Kawan saya itu bilang, temannya yang biasa jadi sopir, lagi sakit. Tapi barang-barang harus diantar ke sejumlah toko di Sleman dan Bantul. Tidak bisa tidak. Bagi saya (yang waktu itu masih berbadan kurus-gepeng), varian L 300 terlihat berukuran lumayan besar. Mengingat sebelumnya latihan nyetir memakai mobil yang lebih kecil dan mungil.
Beruntungnya, masa muda memang tidak atau belum kenal rasa
takut. Pikiran belum cukup ribet dan panjang. Nyali juga masih setebal tali tambang yang baru keluar dari pabrik. Saya
mikirnya simpel : mobil milik bapak saya lebih buruk kondisinya ketimbang kendaraan
perusahaan ini. Apalagi coba, yang lebih parah dari sebuah mobil lawas "antimainstream"? Mobil lawas yang pedal gas,
kopling, dan rem-nya kayak musuh’an, ngajak berantem driver-nya? Selain itu, kapan lagi coba, bisa nyetir mobil boks.Uui..
Oke berangkaat. Tapi, begitu masuk ruang kemudi L300, saya bingung. Blaiiiik, mana tongkat persneling-nya.
Kok enggak ada di sebelah bawah-kiri. Ternyata... ada di sebelah stir, area dasbor. Lhaa, lhaaa, kok beda posisi gini? Matiii, belandaaaa. Gimana, jreng. Telanjur masuk kokpit, nih,
tak mungkin batal. Harga diri, broo... Akhirnya ya tetap berpikir untuk nekat.
“Piye (bagaimana). Piye?” tanya Vendy yang notabene juga temen saya satu band ini, berkali-kali. Ada nada-nada cemas melihat saya lumayan lama “ungkak-ungkek” hanya untuk sekedar mengeluarkan kendaraan ini dari parkiran kantornya ke tepi jalan raya. Padahal parkiran kantornya lapang, dan jalanan pun (saat itu) belum terlalu ramai.
“Piye (bagaimana). Piye?” tanya Vendy yang notabene juga temen saya satu band ini, berkali-kali. Ada nada-nada cemas melihat saya lumayan lama “ungkak-ungkek” hanya untuk sekedar mengeluarkan kendaraan ini dari parkiran kantornya ke tepi jalan raya. Padahal parkiran kantornya lapang, dan jalanan pun (saat itu) belum terlalu ramai.
Akhirnya setelah sekian menit, sepertinya oke. Sepintas kondisi
kendaraan memang terbukti seperti perkiraan, lebih sehat dari mobil saya. Lha
iya, lah. Secara tahun keluaran saja sudah menandakan. Yang ini masih terbilang
baru, setidaknya belum lima tahun. Sedangkan mobil saya sudah 20-an tahun
umurnya.
Tapi masalah masih ada karena spion tengah di ruang kemudi
L300 seakan tidak berfungsi. Lha? Namanya aja kendaraan yang belakangnya boks, mana
kelihatan suasana belakang mobil via spion tengah? Berkendara hanya
mengandalkan spion kanan dan kiri. Dan ini berarti butuh penyesuaian. Solusinya
: Vendy yang saya paksa agar sering menongolkan kepalanya ke luar, sebagai
“spion tambahan” untuk live report setiap saat.
Dan meluncurlah saya pakai kendaran itu. Bukan hal mudah beraptasi. Jika sebelumnya, saya nyetir mobil yang blas kurang bertenaga, begitu di mobil ini, mendadak bisa langsung ngacir begitu gas diinjak. Biasa ngerem "jauh hari" gegara rem tidak pakem, eh di L300 remnya langsung bereaksi. Rasanya seperti mau nabrak-nabrak larinya. Apalagi setelah melepas rem tangan, mobil terasa meloncat.
My life is my adventure ini berlangsung pagi sampai sore, Enggak cuma nyetir, saya juga sekalian membantu angkat-junjung kardus keluar-masuk sekian toko. Akhirnya selesai. Eh sebentar. Apakah terjadi insiden selama perjalanan? Oh…. ada. Beberapa. Sepanjang durasi seharian wira-wiri yang totalnya bisa puluhan km itu, pasti kawan saya pasti "senam jantung". Wajahnya tegang dan selalu komat-kamit "Ati-ati, ati.. awas, awas,".
Insiden lain yang saya ingat adalah hampir menabrak buk--semacam bangku terbuat dari semen yang ada di tepi jalan, biasanya di sisi kanan-kiri jembatan. Setiap mau parkir juga bikin kawan saya jantungan, karena belum paham soal mengalisis jarak. Doa saya sesaat sebelum sampai tiap toko adalah "semoga jangan sampai berurusan sama parkir mundur". Doa hanya terkabul beberapa.
Hanya saja, untungnya, parkir mundur dengan kondisi belakang lapang. Lega, tapi juga masih "kayak uler". Dan tentu saja pakai acara teriak dari teman saya. Begitulah. Berharap tidak ada insiden terjadi, tapi sayangnya itu terjadi juga. Dan insiden "terberat" adalah bemper belakang menabrak pohon kelapa----tapi hanya terhantam sedikit (menurut versi saya) karena refleks cepat menginjak rem.
My life is my adventure ini berlangsung pagi sampai sore, Enggak cuma nyetir, saya juga sekalian membantu angkat-junjung kardus keluar-masuk sekian toko. Akhirnya selesai. Eh sebentar. Apakah terjadi insiden selama perjalanan? Oh…. ada. Beberapa. Sepanjang durasi seharian wira-wiri yang totalnya bisa puluhan km itu, pasti kawan saya pasti "senam jantung". Wajahnya tegang dan selalu komat-kamit "Ati-ati, ati.. awas, awas,".
Insiden lain yang saya ingat adalah hampir menabrak buk--semacam bangku terbuat dari semen yang ada di tepi jalan, biasanya di sisi kanan-kiri jembatan. Setiap mau parkir juga bikin kawan saya jantungan, karena belum paham soal mengalisis jarak. Doa saya sesaat sebelum sampai tiap toko adalah "semoga jangan sampai berurusan sama parkir mundur". Doa hanya terkabul beberapa.
Hanya saja, untungnya, parkir mundur dengan kondisi belakang lapang. Lega, tapi juga masih "kayak uler". Dan tentu saja pakai acara teriak dari teman saya. Begitulah. Berharap tidak ada insiden terjadi, tapi sayangnya itu terjadi juga. Dan insiden "terberat" adalah bemper belakang menabrak pohon kelapa----tapi hanya terhantam sedikit (menurut versi saya) karena refleks cepat menginjak rem.
“Pohonnya gak kelihatan dari spion kanan dan kiri,” begitu
alasan saya. Lha, pohonnya kan di belakang mobil, di tengah-tengah pula, sedangkan saya lagi
posisi atret (mundur). Dan itu repot. Alasan saja sih, sebenarnya, hehehe. “Mata’ne !! Pohon kelapa lumayan gede gini masa
gak kelihatan?” dia membalas. “Konsentrasi penuh mundurin mobil, nih. Mana
sempat lihat pohon di belakang,” jawab saya sekenanya.
“Kowe iso ngundurke mobil ora tho (Kamu bisa memundurkan mobil tidak)?” dia bertanya, walau saya yakin dia tahu jawabannya. “Belum
bisa,sih. Tapi sudah tahu gimana caranya secara teori,” jawab saya. Ah… Kawan saya
pasti pusing gimana laporan soal mobil kantornya ini. Bagian ini enggak perlu saya
tulis, ya, hehe. Tapi kawan saya pasti tahu, ketika kami pulang selamat, itu sudah
anugerah.
Yang pasti, hari itu saya merasa "naik kelas". Menjadi lebih pede menyetir mobil jenis apapun--sampai kemudian berani ambil alih kemudi, nyetir ke Jakarta dan sukses "selamat" keluar-masuk tol untuk pertama kali. Lalu apakah urusan atret sudah lancar? Jujur saja, ya belum. Tapi yang penting mobilnya tetap bisa mundur, dan enggak nabrak, bukan?
(Nb : dua foto mobil lejen ini ambil dari internet yaks)
Yang pasti, hari itu saya merasa "naik kelas". Menjadi lebih pede menyetir mobil jenis apapun--sampai kemudian berani ambil alih kemudi, nyetir ke Jakarta dan sukses "selamat" keluar-masuk tol untuk pertama kali. Lalu apakah urusan atret sudah lancar? Jujur saja, ya belum. Tapi yang penting mobilnya tetap bisa mundur, dan enggak nabrak, bukan?
(Nb : dua foto mobil lejen ini ambil dari internet yaks)
BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
MENGAPA HARUS NGEBLOG ?
CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN
BASA WALIKAN
THE BEATLES FOREVER
7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA
GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI
AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG
JAHITKAN KAINMU KE MODISTE SAMANTHA BALIKPAPAN
JURASSIC WORLD VS JURASSIC PARK
MUSIK ZAMAN DAHULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS ?
BALADA JADI "KAUM REBAHAN" GEGARA CORONA
THE AQUARIAN ?
MENGAPA HARUS NGEBLOG ?
CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN
BASA WALIKAN
THE BEATLES FOREVER
7 MOTOR BEBEK TERBAIK SEPANJANG MASA
GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI
AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG
JAHITKAN KAINMU KE MODISTE SAMANTHA BALIKPAPAN
JURASSIC WORLD VS JURASSIC PARK
MUSIK ZAMAN DAHULU VS ZAMAN NOW, MANA YANG BERKUALITAS ?
BALADA JADI "KAUM REBAHAN" GEGARA CORONA
THE AQUARIAN ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar