Senin, 15 Juni 2020

SECUIL MILITAN DIBALIK KEBERANIAN NGAMEN "OUT OF THE BOX"


Masih anyaran jadi mahasiswa. Saya mencoba sok gaul keluar lingkup kampus dan akhirnya kenalan sama kawan lumayan "gila". Topik obrolan ternyata nyambung, kami pun cepat akrab. Sampai kemudian berujung sebuah ajakan. "Kamu punya gitar, kan. Ayo ngamen besok," begitu katanya di suatu malam, seusai kami nongkrong di warung angkringan. 

Darah muda saya sedang membara waktu itu. Hawa reformasi masih terasa, mungkin itu sebab ajakannya langsung saya sanggupi. Yang penting, tidak sendirian ngamennya. Saya berharap dia yang akan di depan, vokalis utama merangkap gitaris. Sedangkan saya cukup gitaris kedua, tepatnya mbantuin nge-ritem. 

Saya juga berharap gitarnya lebih bagus dari gitar saya, dan tentu juga suaranya. Tapi blaiiiiik, kedua-duanya malah lebih buruk. Gitarnya "remuk", susah disetem. Bunyinya pun standar, kalau tidak mau dibilang ya fales. Tapii.. hal terburuk bukan itu. Melainkan saya juga mesti ikut nyanyi. "Mosok aku sing nyonthong (ngomong/nyanyi) terus berjam-jam," begitu katanya. 

Kecut.. But that's Oke, tantangan diterima walau tetap cemas karena akan jadi pengalaman pertama mbarang (ngamen-Bahasa Jawa) yang enggak hore. Terasa bakal dapat pengalaman horor. Tapi pantang mundur. Hitung-hitung pengalaman pertama nyanyi yang bisa berujung rupiah. 

Pokoknya siap dikritik, karena suara saya jelas tidak "suara-genic". Apalagi skil bergitar yang masih minimalis. Belum ditambah, perkara ngomong di depan umum yang saat itu ya bisa dan belum pede. Saya takut diketawain. Tapi tak mungkin balik kanan. 

Dan hari "bersejarah" berbalut "kutukan" itu tiba. Sebelum berangkat, dia membeberkan strateginya ngamen. Nyanyi bergantian, dan rutenya dari sini ke sana. But, wait..... lho kok bawa toples yang terisi separuh dengan uang logam??? 

"Kamu dan aku ngamennya gini. Kita malah sarankan orang untuk mengambil duit ini, tapi jangan banyak-banyak. Yang penting orang itu mau dengerin kita," kata dia. 

Perkara apakah orang itu akan ambil duit, atau malah nambahin duit ke toples, biarkan jadi misteri. Cara gitu, lanjutnya, malah memacu adrenalin. "Ini cara ngamen model opo?" sempat saya protes. 

Dia cuma ketawa. Akhirnya malam itu beneran kejadian, kami menyusur jalanan. Singgah dari lesehan satu ke lesehan lain, dan ...menjadi bahan ketawaan. Ada beberapa yang langsung menggeleng dan bilang "sanes'e", artinya "lainnya". Artinya lagi, silakan ngamen di tempat lain. Aseeem, iiik. 

Waktu sampai di pasangan yang lagi pacaran, seketika si cowok bertindak seperti melindungi yayangnya. Saya jelas tersinggung. Tapi ketika menoleh sebelah, ke teman saya itu, saya jadi punya cukup gambaran, si cowok tadi ya tidak salah. 

Dengan penampilan lumayan "ambyar", kaos dan jins bolong-bolong, plus sebatang rokok diselipkan di daun telinga, kawan saya ini sah terlihat "kurang higienis" dan barangkali cukup menakutkan. Belum lagi suaranya yang kurang (baca: tidak) merdu. Belum lagi pedenya yang enggak ketulungan.

Tapiii, "Neraka" sebenarnya adalah ketika saya giliran nyanyi. Berbekal kesepakatan bahwa opsi lagu harus lagu yang kami berdua tahu, maka yang dipilih hanya lagu-lagu simpel yang berkunci gitar seputar C, D, G dan F. Diselingi AM, DM, Em. Begitulah. 

Sepanjang "pertunjukan", serasa semua orang menahan tawa. Sudah tak menghitung berapa puluh penonton yang geleng-geleng dan hanya melongo takjub menyaksikan (kualitas) perform kami. Kaos yang melapis tubuh kurus ceking ini sudah basah. Saking derasnya keringat. 

Yang saya nyanyikan antara lain lagunya Koes Plus dan Gombloh. Mungkin kalau ada personel Koes Plus dan Gombloh (almarhum) melihat, pasti bakalan nangis tersedu-sedu. Celakanya lagi, begitu nyanyi, saya nyaris lupa apa chord-nya. "Santai saja, salah ya tinggal ganti chord," kata teman saya itu. Enteng bener ngomongnya. 
 
Untunglah, masih muda. Darah muda banyak menolong. "Ketebalan" muka yang sudah diseting "setembok-temboknya" lumayan jadi bekal agar kuat ngamen (sembari menahan malu). Bagaimana teman saya? Ohoho, wajahnya sudah jadi tembok.

Akhirnya setelah keliling dari petang sampai tengah malam, acara ngamen selesai. Lega. Segera menuju angkringan untuk mengaso. Bergelas teh hangat saya tenggak, sembari komat-kamit "Slamet, slamet, slamet...Syukur nggak ada yang ngantemi (mukulin) saya". 

Sementara kawan saya cengengesan menunjukkan toplesnya. Yang ajaibnya malah terlihat lebih penuh dari sebelumnya. Secara hitung-hitungan rupiah, sebenarnya hasil ngamen sudah habis untuk beli makan malam dan udud.. 

Oke cerita ngamen tadi sudah berakhir. Besok-besoknya masih merasa "trauma" sih. Bukan ngamen cara gini yang saya pikirkan bakal menjadi pengalaman ngamen (serius) pertama. Tapi karena sudah telanjur, kebacut, ya sudah. 

Tapi saya tetap berharap identitas saya tidak ketahuan. Syukur juga enggak ketemu teman pas ngamen. Bisa rontok pede saya kalau itu terjadi. Ketauan ngamen sih gak masalah, malah bisa bangga. Tapi ketahuan ngamen dengan modal suara cempreng, dengan tandem yang kondisinya "sebelas-dua belas" sama saya, ditambah cara ngamen yang tak lazim, itu barulah potensi masalah. 

Sampai suatu ketika, selang sekiaan minggu, saya "kepaksa" mampir ke salah satu warung lesehan yang kami datangi ngamen. Ditraktir temen, judulnya. Blaiiik, yang jual masih mengingat saya. 

Dan sapaannya kira-kira gini, "Eh mas yang kapan hari mbarang ya. Mana temennya sampeyan? Lagi off ya hari ini? Oya ngamennya kemaren itu, wangun lho,". Dan saya cuma bisa bales nyengir garing. 

Wangun (Bahasa Jawa) itu berarti "bagus". Tapi di satu sisi, wangun juga bisa bermakna sindiran halus yang berarti kebalikannya dari "bagus. Dengan kata lain, artinya : jelek, atau minimal : wagu.  

Alhasil, acara makan malam, malah menjadi siksaan kedua. Rasanya pengen segera lari ke luar warung dan menuju kantor kelurahan untuk ganti KTP. Secara mental, waktu itu, di umur yang belum genap 20 tahun, saya enggak siap. Selama beberapa waktu setelah itu, pengalaman ngamen tadi serasa aib. 

Mungkin, mungkin kalau saya sekarang punya mesin waktu, bakal kembali di malam di mana saya ngamen. Mau mencari saya sendiri ....lalu saya jotosi dan pisuhi. "Enggak ada aktivitas lainnya po yaa, sampai harus ngamen cara gitu," paling gitu makian saya. 

Tapi kayaknya, saya akan bilang terima kasih. Makasih pernah melakukan hal konyol dan "tidak penting" itu. Makasih pernah diketawain banyak orang, sampai dengkul ini gemetar. Makasih sudah pernah diajak gila. 

Minimal saya belajar bagaimana satu lagi definisi dan praktik lapangan tentang "militan". Bukan tentang melakukan hal terbaik seturut kebisaan atau keterampilan. Tapi memilih berani, sebisa mungkin, sepede mungkin (meski cukup ketakutan), menampilkan apa yang kita tidak cukup bisa atau menguasai. Yang penting nampil dulu, pasang badan. Urusan lain, termasuk dampaknya, ya pikir belakangan.



Dan sekian tahun berselang, saya masih mengukur kadar kemilitanan saya.... (catatan malam hari, sembari bergitar. Yap gitar yang saya pakai ngamen 22 tahun silam itu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar