Minggu, 01 September 2013

SELAMAT TINGGAL, KASET

        Pagi tadi, ketika menata keping-keping compact disc (CD) yang bertumpuk di rak, perhatian tertuju sebuah benda. Terselip malu-malu. Aha, ternyata itu kaset album Bon Jovi.  
      Ingatan mendadak langsung terlempar ke masa-masa SMA. Usia sambalbawang masih menginjak 16 tahun ketika mendapat kaset itu. Hadiah ultah dari kakak, konteksnya demikian. Oh iya, sekedar informasi untuk adik-adik yang termasuk generasi milenial, album Bon Jovi berjudul Crossroad itu, adalah sesuatu banget !
     Namun, setelah sekian tahun disetel bolak-balik, benda ini memang saatnya menepi, sebelum pitanya beneran putus. Era kaset sudah tergantikan oleh CD, dan kini VCD. Bahkan juga sudah tertanam di youtube. Kaset-kaset mesti "tahu diri", bahwa eranya telah usai. Ibarat pemain bola, saatnya gantung sepatu, kaset juga akan ditinggalkan.
      Sedih kalau mengingat masa lalu. Dan seiring nyaris punahnya kaset dari toko-toko buku, berangsur lenyap pula beberapa benda elektronik seperti tape compo.  
     Dulu, ketika muncul piringan hitam di tahun 30-an sampai tahun 70-an, kaset yang menggusurnya. Dengan bentuk kecil mungil dan bisa ditaruh di saku dan tas kecil, tentulah jadi opsi menarik.  
       Seiring waktu, kaset menjalani "penyegaran" beberapa kali. Perbaikan demi perbaikan, baik bentuk, maupun kualitas.  Awalnya, kaset tampil sederhana, dengan kover plastik warna gelap, yang diatasnya terbentang pita kaset berwarna hitam maupun cokelat. Dan entah mengapa pita warna hitam dianggap lebih bersuara jernih.
    Kaset dilekati stiker penanda album apa, siapa penyanyinya, dan daftar lagu, yang tersemat pada side A dan side B. Di bawah badan kaset, tepatnya di kedua pojoknya, nampak dua cerukan kotak berukuran kecil. Tertutupi bagian kover, dan ini wajib "dihancurkan" agar kita tidak salah langkah gegara memencet tombol "record" alias merekam. Jadi itu seperti pengaman kaset agar rekaman asli tidak tertimpa rekaman lain.
        Tahun berganti, kulit kaset berevolusi. Muncullah kaset dengan kemasan plastik berwarna selain hitam, yakni putih, di akhir tahun 90-an. Lalu bungkus atau bagian belakang kaset yang dulu berwarna hitam, mulai berubah putih, dan bening. 
      Kemudian muncullah kaset model baru, yakni kaset yang bahan plastiknya transparan sehingga terlihat gulungan dan posisi pita kaset. Model kaset ini booming sejak tahun 1991/1992.   
     Album KLa Project berjudul Pasir Putih, yang muncul tahun 1992, mungkin mengawali era kaset berwarna bening-transparan, di Tanah Air. Kaset itu transparan yang berwarna biru. Saat itu, model kayak gini sangat fenomenal. Keren habis.       
     Di eranya, kaset menjadi benda wajib bagi para remaja untuk eksis dan sukses dalam pergaulan kekinian. Namun kaset juga rentan rusak karena sering diputar paksa agar kembali ke lagu pilihan--jika dalam satu kaset itu hanya 1-2 lagu kita sukai. Di sinilah dipakai pensil untuk memutar, dan itu menjadi satu faktor pita kaset rentan rusak.
      Kaset juga dapat dipakai para remaja cowok sebagai senjata untuk menarik perhatian para cewek. Era meminjam catatan memang masih ada. Tapi keren juga jika basa-basi bisa ditambahi kalimat begini, "Bisa pinjam catatan? Ntar tak pinjami kaset..." 
    Nah, celakanya adalah, sambalbawang bukan termasuk remaja yang bisa bela-beli kaset. Sering hanya bisa ndomblong melihat si pujaan hati tukeran kaset sama si dia (baca : rival). Pernah terjadi di depan mata. Resah dan gelisah, lah, pokoknya.
     Waktu itu, urusan membeli kaset juga tidak mudah. Sebagai gambaran,  tahun 1994, kaset lagu barat dibanderol Rp 8.000-10.000, sedangkan kaset dalam negeri Rp 5.000-7.000. Untuk perbandingan, ongkos naik bis Rp 100, dan seporsi mi ayam Rp 350-Rp 400.      
      Karena dulu termasuk remaja kreatif (lantaran terpaksa), maka cara untuk mendapat kaset menjadi penting dilakukan. Pernah lho sambalbawang  jadi penjual kaset selama tiga tahun. Kulakan dari teman dan menjualnya lagi. Tentu saja, kaset yang bagus, tak dijual, tapi dibeli sendiri.
      Begitulah. Dan membahas tentang koleksi kaset, beberapa kaset untunglah masih sambalbawang simpan. Antara lain Air Supply, Bon Jovi, dan The Beatles. Kaset Air Supply, yang berjudul Love Songs itu saya beli di Mirota Kampus, Yogyakarta, tahun 1994, Rp 8.000.
     Saking takutnya rusak, kaset dibungkus plastik klip. Memutarnya pun ekstra hati-hati. Head tape harus bersih dulu, dilap memakai cotton buds yang dikeceri alkohol. Dilarang memutar kaset memakai pensil. 
      Juga sebisa mungkin tidak me-rewind, agar pita kaset tidak mulur atau bundet. Jadi, side A side B harus tuntas sekali jalan. Untunglah lagu-lagunya Air Supply dan Bon Jovi apik-apik, sehingga tak masalah. 
    Dan begitulah, setiap kaset mendapat perlakukan istimewa. Boleh kok ketawa, tapi dulu bagi sambalbawang, kaset adalah barang yang cukup mewah. Satu demi satu kaset didapat dengan menyisihkan uang jajan yang nominalnya tak seberapa. 
    Dari kaset pula, selain dari radio dan TV, sambalbawang mengikuti musik barat. Satu persatu, koleksi mulai dikumpulkan, mulai dari Unplugged-nya Nirvana, Europe, hingga Crash Boom Bang-nya Roxette. Dari Chrisye sampai KLa Project dan Sheila On7.
     Toko kaset di Jalan Mataram Jogja yang dulu full kaset di rak display-nya, sekarang hanya menyisakan sepenggal display untuk benda ini. Kaset-kaset saia pun, bertahun-tahun tidak diputar. Tape compo yg doeloe, rusak. VCD-CD-DVD player pun sudah nongkrong di bawah TV dan diapit mas dan mbak spiker. Tak ada waktu memutar si kaset.
    Ingin mengingat lagi memori masa jaya kaset, sambalbawang membeli tape compo kualitas "apa adanya" di salah satu toko di Plaza Kebun Sayur, Balikpapan. Dengan harga Rp 70.000 untuk menebus tap compo mungil yang ada lampunya LED, yah, tau sendiri gimana bunyinya. 
      Sambalbawang pun coba menyalakan lagi beberapa kaset. Namun, sensasinya kok ya sudah berbeda. Telinga ini sudah terbiasa dengan CD yang bersuara "jernih". Kaset usia lanjut, sudah enggak jernih terdengar, sebab ada instrumen lain ikut mengisi suara (termasuk suara pita diputar). 
       Apa boleh buat, tape compo pun perlahan terpaksa ditaruh di lemari. Nasibnya mirip servis motor, dilakukan 1-2 bulan sekali. Demikian juga si tape , yang difungsikan hanya 1-2 kali sebulan.
   Ape mau dikate, begitu orang Betawi bilang. Piye maneh, begitu orang Jawa menyebut. Bagi sambalbawang yang pernah mengalami era kejayaan kaset, cukup perih juga menerima kenyataan era kaset sudah berakhir. 
    Kalau boleh jujur, fungsi kaset milik sambalbawang yang hanya berjumlah beberapa biji ini, utamanya hanya sebagai pengingat. Mengingatkan bahwa benda ini dulu didapat dengan perjuangan. Bukan hasil abrakadabra-sim salabim, atawa minta ortu trus dikasih jreng.  
      Tetapi, syukurlah. dibalik cerita pahit, tentu ada kenangan manis. Salah satunya ketika berjuang mendapat kaset KLA. 
    "Mas, ada kaset KLa yang Pasir Putih," begitu tanya sambalbawang kecil, kepada karyawan sebuah toko kaset di Jalan Gejayan.  "Belum datang kasetnya, dik, besok kesini lagi saja," begitu jawab si mas karyawan toko.
     Lukas kecil yang masih duduk di bangku SMP, dengan gontai, mengayuh sepedanya pulang ke rumah. Mengecek stok kaset KLA yang itu adalah aktivitas tiap hari selama dua minggu, usai bersekolah.  Akhirnya Lukas kecil mendapatkan kaset warna biru bening, yang merupakan kaset salah satu masterpiece KLa ini.
    Seneng banget, rasanya pengen piknik ke bulan. Sesampai di rumah, segera disetel kaset yang sampulnya gambar matahariii itu. "Membaca lagi surat-suratmu, hatiku jatuh rindu. Tak sadar pada langit kamarku, kulukis kau disitu..." Ah....



BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :

"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019
MAMMA MIA ! HERE WE GO AGAIN, ABBA AGAIN
BASA WALIKAN
THE AQUARIAN ?
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar