Selasa, 12 April 2016

BASA JAWA (4) NGOKO, KRAMA MADYA, KRAMA INGGIL

Barangkali, dan semoga benar, tingkat bahasa Jawa yang paling enak disimpelkan dalam tiga kategori, yakni Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil. Penggolongan ini sebagai representasi level “kehalusan” dalam memilih kata. Ngoko adalah tingkatan yang paling “kasar” sedangkan Krama Inggil paling “halus”.

Jika berbicara dengan orang yang lebih tua, wajib memakai kata dan kalimat yang halus, minimal memakai krama madya itu. Demikian pula sebaliknya, orang tua akan ngomong ngoko terhadap anak atau yang lebih muda. Nah, kalau lawan bicara kita sebaya, alias teman, ya pilih aja ngoko.

Ada setumpuk kosa kata, yang bisa dilevelkan kehalusannya. Tentu saja, tidak akan sambalbawang ulas satu persatu, karena baru akan selesai saat kick-off Piala Eropa dua bulan mendatang.

Namun ada baiknya kita mengerti dulu bahwa tidak selalu tingkatan kehalusan itu sama. Maksudnya, bisa jadi kata benda maupun kata sifat, juga kata kerja, dalam krama madya sama dengan krama inggil. Atau ngoko sama dengan krama madya.

Beberapa contoh, misalnya “jari tangan”. Dalam ngoko, itu disebut “driji”, demikian juga dalam krama madya. Baru dalam krama inggil, disebut “racikan”. Aha, jadi paham kan mengapa urusan kuliner sering diimbuhi kata “racikan”...

“Kepala”, dalam ngoko disebut “endhas”, sedangkan dalam krama madya, disebut “sirah”, dan dalam krama inggil disebut “mustaka”.  Kalau “mata”, dalam ngoko, dinamakan ”mata”, dalam krama madya “mripat”, sedangkan krama inggil dinamakan “soca” atau “paningal”.  

“Pasangan hidup” (suami/istri), dalam ngoko disebut “bojo”, sedangkan dalam krama madya “semah”, dan pada krama inggil kita sebut “garwa”. Adapun garwa ini, diartikan sebagai sigaraning nyawa, alias separuh nyawa.

Kosa kata lain, seperti “mau”, dalam ngoko diistilahkan “gelem”, krama madya “purun”, dan krama inggil “kersa”.  Kalau “ikut”, ngokonya “melu”, sedangkan krama madya dan krama inggilnya adalah “tumut” dan “ndherek”.

“Aku”, dalam ngoko juga “aku”, sedangkan dalam krama madya “kula” dan krama inggilnya “kawula” atau “dalem”. Sedangkan “kamu”, ngokonya “kowe”, krama madyanya “sampeyan”, dan krama inggilnya “panjenengan”.

“Itu”, ngokonya “kuwi”, sedangkan krama madyanya “niku” dan krama inggilnya “punika”. Nah kalau “makan”, ngokonya “mangan”, krama madyanya “nedha”, dan krama inggilnya “dhahar”.

Kalau “laki-laki”, ngokonya “lanang”, sedangkan krama madya dan krama inggilnya “kakung” serta “jaler”. Kalau “perempuan”, urutannya adalah “wedhok”, lalu “wadon” dan “estri” atau “setri”.

Jadi, kalau kita (anak muda) bertanya ke simbah, misalnya menanyakan sudah makan atau belum, bahasanya gini: simbah sampun dhahar? Jangan sampai salah ngomongnya. Ah, jadi teringat eyang/simbah, dan simbah buyut, yang sudah meninggal.

Bagaimana, cukup rumit bukan tingkatan dalam Bahasa Jawa. Namun percayalah, itu adalah kekayaan budaya yang unik, keren, dan tak terhingga nilaiya. Ada keasyikan saat melafalkan dan menerapkannya dalam percakapan. Ada keindahan di sana...



Baca Juga   : 
CHINMI JAGOAN KUNGFU DARI KUIL DAIRIN 
HAPPY MOTHER'S DAY 2019. LIVE ACCOUSTIC "MAMA" 
10 BREGADA KERATON YOGYAKARTA YANG KEREN
TEH NASGITEL PET
SARADAN
HOMPIMPA ALAIUM GAMBRENG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar