Benda ini, yang bernama ponsel, sekarang benar-benar melekat erat di tangan. Bukan dalam level kecanduan, atau ketagihan akut, tetapi telah menjadi kebutuhan sangat mendesak maha penting. Menunjang pekerjaan, begitulah.
Dulu waktu masih kuliah, sambalbawang sempat berikrar bahwa tidak butuh ponsel dan berharap pekerjaan ke depan bisa sejalan dengan keinginan. Ini tak lepas dari kondisi mata yang memang tidak terlalu mendukung untuk menatap layar.
Tetapi zaman kiranya bergerak cepat melampaui kemampuan otak dan keinginan hati menerima kenyataan. Mau tidak mau, sambalbawang--dan hampir semua penghuni bumi ini--takluk juga oleh teknologi dan hal terkait. Ponsel akhirnya jadi kebutuhan.
Dulu waktu masih kuliah, sambalbawang sempat berikrar bahwa tidak butuh ponsel dan berharap pekerjaan ke depan bisa sejalan dengan keinginan. Ini tak lepas dari kondisi mata yang memang tidak terlalu mendukung untuk menatap layar.
Tetapi zaman kiranya bergerak cepat melampaui kemampuan otak dan keinginan hati menerima kenyataan. Mau tidak mau, sambalbawang--dan hampir semua penghuni bumi ini--takluk juga oleh teknologi dan hal terkait. Ponsel akhirnya jadi kebutuhan.
Ponsel pertama koleksi sambalbawang adalah Nokia 5110. Dibeli persis ketika baru melakoni pekerjaan sebagai juru
warta di awal tahun 2014 lalu. Ponsel yang masih menggunakan antena itu keluaran lawas, karena sudah nongol tahun 1998 silam. Sambalbawang masih ingat harga ponsel itu, Rp 350.000, kala ditebus dari salah satu konter di kawasan Demangan, Yogyakarta.
Ponselnya berstatus Black Market (BM), yang berarti hanya garansi toko. Beresiko sih, sebenarnya. Namun saat itu tidak terlalu memerhatikan hal-hal seperti itu. Pokoknya bisa dapat ponsel yang hidup, bisa menelpon-ditelepon, bisa mengirim dan menerima pesan singkat (SMS), maka, bereslah sudah.
Saat itu, seri Nokia yang ngetren adalah Nokia 3310. Bentuknya candybar, simpel, dan tidak pake antene. Kemunculannya menghebohkan. Sebabnya ya karena ponsel ini tidak pakai antena, dan gampang dipakai. Keypad-nya lumayan empuk. Saya yakin Nokia mendapat julukan hape sejuta umat dari publik, karena kesuksesan seri 3310 dan 5110.
Ponselnya berstatus Black Market (BM), yang berarti hanya garansi toko. Beresiko sih, sebenarnya. Namun saat itu tidak terlalu memerhatikan hal-hal seperti itu. Pokoknya bisa dapat ponsel yang hidup, bisa menelpon-ditelepon, bisa mengirim dan menerima pesan singkat (SMS), maka, bereslah sudah.
Saat itu, seri Nokia yang ngetren adalah Nokia 3310. Bentuknya candybar, simpel, dan tidak pake antene. Kemunculannya menghebohkan. Sebabnya ya karena ponsel ini tidak pakai antena, dan gampang dipakai. Keypad-nya lumayan empuk. Saya yakin Nokia mendapat julukan hape sejuta umat dari publik, karena kesuksesan seri 3310 dan 5110.
Melongok ke para kompetitor,
ponsel yang trendi waktu itu adalah Siemens, khususnya seri C35. Ponselnya juga bertipe candybar, dan merupakan suksesor Siemens seri C25. Nah, "si-emen" serti C35 ini punya salah
satu fitur unik yakni internet, tapi saya dan semua kawan enggak paham bagaimana memanfaatkan
fitur itu.
Harga Siemens C35 yang baru, dulu, berkisar sejutaan. Kalau bekas, sekitar Rp 600.000. Lumayan mencekik leher dompet . Hanya bisa gigit jadi sambil memandanginya terpajang menggoda di etalase toko. Jadi, tetap berpuas diri dengan Nokia 5110.
Harga Siemens C35 yang baru, dulu, berkisar sejutaan. Kalau bekas, sekitar Rp 600.000. Lumayan mencekik leher dompet . Hanya bisa gigit jadi sambil memandanginya terpajang menggoda di etalase toko. Jadi, tetap berpuas diri dengan Nokia 5110.
Seiring kebutuhan,
sambalbawang membutuhkan satu ponsel lagi. Mulai rajin, deh, menyambangi kios-kios ponsel
di seantero Klaten, kota pertama penempatan bekerja. Setelah menanti dua
pekan, dapatlah hape idaman Nokia 3310 itu, meski berstatus second. Hape ini dibanderol Rp 400.000.
Nokia 3310, ehm, adalah ponsel pertama yang bisa dimasukkan ke kantong celana. Cukup fenomenal, lho. Setidaknya mungkin separuh dari narasumber saya, sepertinya punya ponsel tersebut.
Nokia 3310, ehm, adalah ponsel pertama yang bisa dimasukkan ke kantong celana. Cukup fenomenal, lho. Setidaknya mungkin separuh dari narasumber saya, sepertinya punya ponsel tersebut.
Di penghujung 2004, ponsel layar warna mulai menyeruak muncul. Cetar membahana gaungnya, memicu semua konter untuk memajang habis-habisan. Konter-konter baru tumbuh dengan gegap gempita.
Tak hanya warna layar, tapi fitur ponsel pun mulai berjibun dan variatif. Kelebihannya antara lain, bisa memutar musik, nada deringnya poliponik, dan tentu saja, lebih banyak game-nya. Tak hanya Snake, doang.
Dan tentu saja, game itu langsung terlihat jadul. Sulit membayangkan bahwa saya dulu cukup gembira menjumpai ada game ini. Benda untuk nelpon yang bisa untuk nge-game. Sekarang, saya yakin, game ini pun bahkan tidak menarik bagi anak TK.
Geliat ponsel layar warna makin gencar di akhir 2005. Saya juga ikut heboh dengan membeli beberapa tabloid untuk memantau pergerakannya. Namun belum memutuskan membeli karena harganya muahal.
Kesempatan merehabilitasi ponsel, akhirnya tiba, ketika pulang ke Jogja, akhir 2005. Setelah berkeliaran ke sana-sini, sasaran tembak adalah Nokia 3210. Akhirnya doi dapat dibawa pulang,sekaligus menandai ponsel layar warna pertama di rumah.
Dua tahun ponsel ini menemani, sebelum akhirnya diminati ayahanda.Seiring ponsel GSM yang tumbuh dan modelnya makin keren, awal 2006, ponsel CDMA mulai menampakkan wujudnya.
Walaupun ponsel CDMA zaman itu masih dengan layar monokrom. Namun pelan-pelan ponsel CDMA mulai dikenal dan saya pun terpaksa ikut mengoleksi dengan alasan tuntutan pertemanan dan pekerjaan.
Tak hanya warna layar, tapi fitur ponsel pun mulai berjibun dan variatif. Kelebihannya antara lain, bisa memutar musik, nada deringnya poliponik, dan tentu saja, lebih banyak game-nya. Tak hanya Snake, doang.
Dan tentu saja, game itu langsung terlihat jadul. Sulit membayangkan bahwa saya dulu cukup gembira menjumpai ada game ini. Benda untuk nelpon yang bisa untuk nge-game. Sekarang, saya yakin, game ini pun bahkan tidak menarik bagi anak TK.
Geliat ponsel layar warna makin gencar di akhir 2005. Saya juga ikut heboh dengan membeli beberapa tabloid untuk memantau pergerakannya. Namun belum memutuskan membeli karena harganya muahal.
Kesempatan merehabilitasi ponsel, akhirnya tiba, ketika pulang ke Jogja, akhir 2005. Setelah berkeliaran ke sana-sini, sasaran tembak adalah Nokia 3210. Akhirnya doi dapat dibawa pulang,sekaligus menandai ponsel layar warna pertama di rumah.
Dua tahun ponsel ini menemani, sebelum akhirnya diminati ayahanda.Seiring ponsel GSM yang tumbuh dan modelnya makin keren, awal 2006, ponsel CDMA mulai menampakkan wujudnya.
Walaupun ponsel CDMA zaman itu masih dengan layar monokrom. Namun pelan-pelan ponsel CDMA mulai dikenal dan saya pun terpaksa ikut mengoleksi dengan alasan tuntutan pertemanan dan pekerjaan.
Pilihan jatuh ke Nokia 1255. Ponsel CDMA yang ini dulu banyak versi black market (BM)-nya, yang dibanderol jauh lebih murah ketimbang ponsel berstatus garansi resmi. Tapi banyak kawan yang menenteng ponsel 1255 kualitas BM itu. Dan benar saja, ponsel satu ini tidak cihui, sering henghong.
Nasib 1255 ini berakhir dengan barter di konter, diganti Motorola W150i. Ponsel baru lebih tahan banting, tapi juga tidak terlalu nyaman dipakai. Keypad keras, letak fitur dan tombol pun membingungkan.
W150i pun, dengan berat hati dilego kembali ke konter, dan sebagai gantinya Nokia 2112 karena tetap butuh ponsel format CDMA. Nokia yang ini pun ternyata henghong melulu, sehingga harus dievakuasi dari kantong. Berikutnya datang Samsung SCH S299 yang untunglah, waras performanya.
Nasib 1255 ini berakhir dengan barter di konter, diganti Motorola W150i. Ponsel baru lebih tahan banting, tapi juga tidak terlalu nyaman dipakai. Keypad keras, letak fitur dan tombol pun membingungkan.
W150i pun, dengan berat hati dilego kembali ke konter, dan sebagai gantinya Nokia 2112 karena tetap butuh ponsel format CDMA. Nokia yang ini pun ternyata henghong melulu, sehingga harus dievakuasi dari kantong. Berikutnya datang Samsung SCH S299 yang untunglah, waras performanya.
Tahun berganti
tahun, ponsel selanjutnya datang dan pergi menghuni saku celana. Seiring meredupnya dunia CDMA, maka ponsel CDAM pun mulai tiarap. Nomor Fleksi, dan sempat juga Esia, terpaksa dikubur.
Jagat perponselan lantas dikuasai Blackberry, yang setelah setahun di Balikpapan, terpaksa saya beli di akhir 2011. Blackberry Bold ini awalnya berkinerja baik, tapi setelah dua tahun, mulai sering rewel.
Setelah dua kali kerusakan, BB sambalbawang bawa lagi ke service center-nya. Mbak-nya bilang biaya reparasi total bisa mencapai Rp 1,5 juta. Terima kasih banyak, saya pulang, dan BB saya bungkus di kardus.
Era BB masih berkuasa, hape android perlahan masuk dan berlari cepat. BB-pun menjadi terasa lamban dan tidak trendi. Hape android berjuluk Oppo Clover pun menjadi tawaran menarik, karena harganya terjangkau. Dik Oppo ini yang saya genggam sampai sekarang.
Kembali ke kisah ponsel-ponsel masa lalu, beberapa masih disimpan dengan baik dan terawat. Seperti Nokia 1200, yang lebih kodang disebut Nokia senter karena ada fasilitas senter-nya. Nokia 5110 juga masih dipelihara walau kondisinya sudah tewas dengan damai 3-4 tahun silam.
Nokia 3210 juga sudah pensiun, tapi kardusnya masih terpelihara baik, juga struk pembeliannya. Juga Samsung SCH S299, ponsel CDMA layar warna pertama yang saya punya, masih tergeletak di kotak, dengan kondisi cukup sehat.
Mereka ditemani beberapa ponsel yang pernah sambalbawang tenteng wira-wiri liputan. Kadang, koleksi ponsel ini masih sambalbawang pandangi. Dilap satu per satu. Sambil merentang kisah dahulu kala, sembari menyeruput kopi.
Betapa....
BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :
MENGAPA HARUS NGEBLOG
Jagat perponselan lantas dikuasai Blackberry, yang setelah setahun di Balikpapan, terpaksa saya beli di akhir 2011. Blackberry Bold ini awalnya berkinerja baik, tapi setelah dua tahun, mulai sering rewel.
Setelah dua kali kerusakan, BB sambalbawang bawa lagi ke service center-nya. Mbak-nya bilang biaya reparasi total bisa mencapai Rp 1,5 juta. Terima kasih banyak, saya pulang, dan BB saya bungkus di kardus.
Era BB masih berkuasa, hape android perlahan masuk dan berlari cepat. BB-pun menjadi terasa lamban dan tidak trendi. Hape android berjuluk Oppo Clover pun menjadi tawaran menarik, karena harganya terjangkau. Dik Oppo ini yang saya genggam sampai sekarang.
Kembali ke kisah ponsel-ponsel masa lalu, beberapa masih disimpan dengan baik dan terawat. Seperti Nokia 1200, yang lebih kodang disebut Nokia senter karena ada fasilitas senter-nya. Nokia 5110 juga masih dipelihara walau kondisinya sudah tewas dengan damai 3-4 tahun silam.
Nokia 3210 juga sudah pensiun, tapi kardusnya masih terpelihara baik, juga struk pembeliannya. Juga Samsung SCH S299, ponsel CDMA layar warna pertama yang saya punya, masih tergeletak di kotak, dengan kondisi cukup sehat.
Mereka ditemani beberapa ponsel yang pernah sambalbawang tenteng wira-wiri liputan. Kadang, koleksi ponsel ini masih sambalbawang pandangi. Dilap satu per satu. Sambil merentang kisah dahulu kala, sembari menyeruput kopi.
Betapa....
BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA :
MENGAPA HARUS NGEBLOG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar