Kamis, 22 Agustus 2013

SKILL MENYETIR YANG TOP ? TIDAK CUKUP

           Sebuah mobil yang terbilang masih gres, tiba-tiba nyelonong menyalip motor sambalbawang, beberapa waktu lalu. Habis menyalip dari kiri, mobilnya terus mendadak geser ke tengah, dan tiba-tiba belok putar arah. 
     Tuas rem terpaksa ditekan cepat, diiringi suara berdecit beberapa kendaraan lain di belakang yang juga ikut pontang-panting. Eh ajaibnya, meski dipelototin sekian pasang mata, si pengemudi mobil mahal itu, cuek. 
     Tak terhindarkan, mobil keluaran sekarang seakan mengajak agar pedal gas dipancal sehabisnya. Tak mikir dampak akibat aksi main gas tanpa norma. Mayoritas pengendara ingin jadi pebalap.
     Sebenarnya, apakah perlu sedemikian ngebut? Apakah selalu terburu waktu ketika melajukan kendaraan? Apakah mesti unjuk skill dengan ngepot zig-zag sampai bikin orang lain meradang?
     Salah kaprah telah terjadi. Skill menyetir mobil seperti diartikan mesti gape membalap, responsif menginjak pedal gas, hingga parkir mundur sekali jadi, kalau perlu, secepat kilat. Klakson ikut  jadi "senjata" yang menyalak.
      Itulah yang terjadi. Memprihatinkan. Jalanan semakin kekurangan pengendara santun yang mematuhi rambu lalu lintas. Etika berkendara semakin memudar. Area parkir adalah tempat kita bisa sedikit melihat kelakuan mereka.
      Beberapa kawan tertawa ketika kebetulan saya yang membawa kendaraan. Alasannya, saya tidak bisa ngebut. Tidak pula jago zig-zag, ataupun nyalip sana nyalip sini. Skill menyetir, sambalbawang akui, memang standar.
      Tetapi, setidaknya selama rentang waktu sambalbawang pertama memegang kemudi, tahun 2000 lalu, belum pernah mobil menyerempet. Walau ada catatan, yakni beberapa kali mobil saya pas kondisi diam, "disun" sedikit.
     Sementara beberapa kawan lain yang jauh lebih lihai nyetir mobil, "rekornya" malah beberapa kali mengalami insiden. Mulai dari nyenggol trotoar, kebablasan belok, menyerempet kendaraan sampai barang. 
     Sambalbawang beruntung bisa nyantai saat mengendarai gerobak roda empat. Saya beruntung punya bapak yang dulu selalu mewanti-wanti dengan kalimat, "Kalau jalannya tidak ngebut, antisipasi lebih baik,".
    Bapak saya malah lebih jago nyetir ketimbang sambalbawang. Mungkin juga mamah, orang yang paling sabar ngajarin nyetir. Sambalbawang menimba ilmu dari mereka. Ilmu untuk tidak tergoda ngebut di jalan. Laju kencang oke, tapi ngebut, tidak.
    Dari bapak, sambalbawang menyarikan ilmu yang sederhana. Skill, keterampilan menyetir itu tidak cukup. Faktor lain juga sama pentingnya. Misalnya kondisi kendaraan dan kondisi pengemudi.
     Bapak selalu berpesan,  mobil harus dilengkapi peralatan standar, seperti ban cadangan, dongkrak, kunci-kunci, kawat sling, busi cadangan, serbet, air dalam botol, payung, senter, hingga sekering cadangan.
     Kondisi kendaraan misalnya kondisi ban. "Sebelum ban gundul, harus cepat diganti. Kalau ban gembos, cepat diisi angin," kata bapak.
     Keharusan lainnya, menurut bapak adalah STNK, SIM, dan kotak P3K. Dalam hal ini, pajak dan SIM juga mesti hidup. Haram kalau tiarap. Jangan lupa mengenakan seat belt, dan saat berkendara tak usah ber-SMS.
     Tak terhitung berapa kali bapak mengingatkan untuk menyalakan lampu sein saat hendak berbelok. Lampu sein, lampu rem, hingga lampu depan, yang putus, wajib hukumnya segera diganti
     Hal penting lainnya, tidak perlu ikut emosi jika pengendara lain ingin menyalip atau memancing kericuhan di jalan. Lalu, kalau mengantuk, jangan memaksa diri untuk menyetir. Satu terakhir, jangan lupa berdoa.
     Sepertinya, sambalbawang menuju tipe driver seperti bapak. Nyetir adalah kegiatan yang serius, sangat serius malahan. Tapi tetap bisa dilakukan dengan santai, menyenangkan jika antisipasi dilakukan.
     Kalau harus ngebut bagaimana? Sambalbawang enggak bisa. Lagian, untuk apa, coba? Mau ngejar siapa? Lagipula, kalau memang ingin kendaraan agak lebih ngebut dikit, tinggal menyerahkan kemudi ke sodara bojo. Beres. Hehe.
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar