Siang ini kita akhirnya bertemu, sepulang kuliah. Di sebuah warung bakso dekat
kampus, tempat kesepakatan bersama dua hari lalu. "Tidak ada temanku yang tahu. Tapi kamu juga jangan bilang ke temen karibmu ya. Ini rahasia," katamu.
Setengah jam berlalu. Canda-tawa
seperlunya mengalir. Sedikit berbasa-basi. Sedikit tatap mata. Sedikit respons darimu. Sedikit perhatianmu. Sedikit kata-kata yang terlontar dari bibir kecilmu. Tanpa bertanya, tetapi hanya jawaban sekenanya. Perbincangan yang bikin gerah. Bahkan posisi duduk kita bersebelahan, bukan berhadapan.
Dudukmu pun mulai nampak jengah. “Ada yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?” tanyamu. Kutatap lekat matanya. “Kamu sudah bisa menebak, atau perlukah aku menegaskannya sekali lagi?" sahutku. “Sekali lagi? Maksudmu?” jawabmu dengan nada keheranan. Kamu memutar tubuhmu, sehingga berhadapan denganku.
Ah, perlukah aku ngomog lagi alasanku sering bertandang kerumahmu? Memberanikan diri datang ke rumahmu dan menjawab satu demi satu pertanyaan ibumu? Menatap rumahmu yang besar saja, aku merasa kecil. Apalagi isi rumah dan isi garasi rumahmu. Apakah kau tahu? Ah tapi sudahlah, tidak perlu juga kamu tahu. Tapi kuyakin kamu tahu jika aku tinggal di rumah kontrakan.
Dudukmu pun mulai nampak jengah. “Ada yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?” tanyamu. Kutatap lekat matanya. “Kamu sudah bisa menebak, atau perlukah aku menegaskannya sekali lagi?" sahutku. “Sekali lagi? Maksudmu?” jawabmu dengan nada keheranan. Kamu memutar tubuhmu, sehingga berhadapan denganku.
Ah, perlukah aku ngomog lagi alasanku sering bertandang kerumahmu? Memberanikan diri datang ke rumahmu dan menjawab satu demi satu pertanyaan ibumu? Menatap rumahmu yang besar saja, aku merasa kecil. Apalagi isi rumah dan isi garasi rumahmu. Apakah kau tahu? Ah tapi sudahlah, tidak perlu juga kamu tahu. Tapi kuyakin kamu tahu jika aku tinggal di rumah kontrakan.
Jadi, membawamu sampai ke warung ini, sudah sebentuk keberhasilan bagiku. Setelah, tentu saja, sekian ajakanku yang kamu
tepikan. Tapi mungkin kamu mengiyakan ajakan seorang kawan yang barusan kamu
kenal. Sudahlah, aku tahu itu kok.
“Jadi, maksudmu gimana,” katamu mencoba tersenyum. Aku tahu banget, itu adalah senyum yang dipaksakan. Tapi aku menghargainya. Masih ada sejumput kebaikan di jiwamu. Membolehkan aku menyita waktumu yang padat, dan perhatianmu yang jarang. Iya, lah, siapa juga aku. Tapi aku berhak... Berhak menyatakan rasa.
Aku menatapmu
lekat-lekat. Aku suka dua bola mata yang didepannya terlindungi kaca ini. Aku suka gelombang-gelombang rambutmu yang berwarna hitam pekat. Dan aku suka tawamu yang sepertinya dititiskan ibumu padamu. Aku suka apa yang terpampang di seluruh wajahmu. Matamu, hidungmu, telingamu, pipimu, gigimu. Juga tengkukmu. Bahkan betis kakimu dan cempreng suaramu. Oh Tuhan.
Mendadak aku ingin memegang tanganmu. Sekarang atau tidak. Dirimu sontak terkaget, namun entah mengapa, membiarkan aku mengusap-usap
jemarimu. Aku memberanikan diri untuk mengusap-usap keningmu, dan mencium tanganmu. Dua-tiga menit berlalu tanpa kata.
Beberapa detik, kata itu akhirnya terlontar dariku. Melesat pelan seperti anak panah yang enggan meninggalkan busurnya. Atau mungkin melesat lebih cepat dari kedipan mata. Jawabannya tak butuh waktu lama. Engkau menggeleng pelan. Seperti perkiraanku, memang tidak ada keajaiban menimpaku.
Pertemuan ini pun
usai. Bakso ini langsung terasa hambar, es jeruk pun mendadak terasa pahit. Jarimu
tak lagi terasa halus. "Ini rahasia kita, ya," katamu memecah kesunyian. Datar. Dunia kita jauh berbeda.
BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
PELUKAN (CERPEN)
MENGAPA HARUS NGEBLOG
BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
PELUKAN (CERPEN)
MENGAPA HARUS NGEBLOG