Mengapa
kejutan itu terasa begitu “membahagiakan”, tentu ada alasannya. Bagi mereka yang mengikuti
perjalanan Die Mannschaf sejak puluhan tahun, pastilah tak sulit memahami. Salah satunya, ya, karena tim Jerman
termasuk pembunuh tim-tim semenjana dan tim-tim yang bermain apik.
Tim-tim yang
heroik penampilannya, pun, tumbang menyedihkan jika bersua Jerman. Sebagian kemenangan
Jerman menyisakan luka perih bagi lawannya, karena sering tercipta di menit-menit akhir pertandingan. Semakin pedih pula karena gol-gol Jerman pun sering berbau keberuntungan atau kekurangjelian wasit.
Kita coba buka lembaran Piala Dunia 2014 Brasil. Empat tahun silam, saat bersua Argentina di laga puncak, gol semata wayang tim Jerman tercipta pada menit-menit akhir. Sebagian orang tentu bilang Jerman menang di konsistensi dan konsentrasi, tapi tidak selalu begitu. Sekian puluh persen kemenangan Jerman karena lawannya sedang apes.
Kita coba buka lembaran Piala Dunia 2014 Brasil. Empat tahun silam, saat bersua Argentina di laga puncak, gol semata wayang tim Jerman tercipta pada menit-menit akhir. Sebagian orang tentu bilang Jerman menang di konsistensi dan konsentrasi, tapi tidak selalu begitu. Sekian puluh persen kemenangan Jerman karena lawannya sedang apes.
Masih dengan keberuntungan Jerman lawan Argentina, tetapi di laga final Piala Dunia 1990. Jerman unggul dengan skor sama, 1-0. Gol
kontroversial dari sepakan penalti pada menit ke-85 oleh Andreas Brehme, mengandaskan impian si boncel Maradona merengkuh trofi dunia ketiganya. Jalannya laga ini bahkan sempat dinobatkan sebagai final Piala Dunia terburuk.
Masih
kurang? Cungkil lagi turnamen Piala Eropa 1996, pada laga final yang mempertemukan
Jerman versus Republik Ceko. Skor 2-1 untuk Jerman. Gol penentu kemenangan Jerman tercipta pada menit ke-95. Di Piala Eropa 1996 itulah, untuk pertama kali aturan golden goal (gol emas) diterapkan,
dan Jerman yang memetik keberuntungan.
Balik lagi
ke Piala Dunia 2010, tatkala Jerman bersua Inggris di babak 16 besar. Dalam kedudukan
tertinggal 1-2, Frank Lampard melesakkan tendangan dan bola masuk gawang Jerman, setelah sebelumnya memantaul ke mistar. Ajaibnya, wasit
tidak mengesahkan gol itu. Waktu itu teknologi VAR sayangnya belum ada. Meski begitu, dari tayangan ulang, bola terlihat sudah melewati garis gawang.
Masih ingat
juga final Piala Dunia 1974 ketika tim Jerman (Barat) memupus mimpi tim Oranye Belanda memeluk trofi pertamanya?
Saat itu Belanda lagi hebat-hebatnya dan indah-indahnya, karena punya Cruyff, yang mempimpin teman-temannya menerapkan filosofi total football. Tapi, Jerman yang punya sang kaisar, Franz Beckenbauer,
meredamnya. Skor akhir 2-1, dan pemain Jerman yang mengangkat piala.
Kalau mau
dipanjangkan ceritanya, masih banyak rentetan hasil laga Jerman yang dinaungi dewi fortuna, bahkan "dewa" fortuna pun sepetinya ikut, yang semuanya terjadi pada turnamen besar. Belum lagi gol-gol pasukan Jerman di menit akhir juga pada injury time, yang bikin patah hati fans lawan. Berani taruhan, banyak fans tim semenjana, yang masih “dendam” sama Jerman sampai sekarang.
Masih terbayang saat Jerman mencetak gol di “detik” terakhir kala melawan
Swedia, pada penyisihan grup Piala Dunia 2018, beberapa hari lalu. Skor pun akhirnya terkunci 2-1 untuk kemenangan Jerman--yang bermain dengan 10 pemain. Meskipun Swedia yang tersenyum
belakangan karena malah yang akhirnya lolos, kasus-kasus seperti ini,
amat langka menimpa Jerman.
Melawan
Jeman dalam turnamen besar dan laga krusial, berarti melawan tim yang seakan-akan “disayang” Tuhan, “dibantu”
wasit, dan "dipeluk" oleh dewa-dewi keberuntungan. Saking gimananya, sampai-sampai sambalbawang punya istilah “Waktu Jerman” untuk
menunjukkan bagaimana Jerman beneran beruntung lantaran seakan diberi bermenit-menit perpanjangan waktu.
Enggak perlu mengambil contoh yang jauh tentang seberapa beruntungnya Jerman. Contoh yang dekat-dekat saja. Melawan timnas Korsel, meski laga berakhir 2-0 untuk Korsel, wasit
baru meniup peluit akhir 10 menit sesudah waktu normal 90 menit. Sepuluh menit !! Dan sebetulnya, masih banyak contoh lain
yang waktu pertandingan bisa bonus bermenit-menit saat Jerman tertinggal atau ketika hanya perlu satu gol.
Kekalahan Jerman atas Korsel akan menjadi topik menarik, sampai bertahun-tahun ke depan. Barangkali, ini salah satu kejutan terbesar Piala Dunia yang sudah berlangsung lebih 80 tahun ini. Pada Piala Dunia 1994 dan Piala Dunia 2002, Jerman selalu menang saat bertemu Korsel,
masing-masing dengan skor 3-2 dan 1-0. Korsel memang pernah menang atas Jerman, dengan
skor 3-1, tapi di laga persahabatan
tahun 2004. Sejarah memihak Jerman.
Namun, ksatria Korsel yang
sudah tersisih dari perhelatan di tanah Rusia ini, masih ingat ketika “kakak-kakak” mereka mengandaskan tim Jerman
14 tahun silam. Kenangan ingin diulang. Mengalahkan Jerman jelas kado terindah
untuk warga Korsel. Bukan tiga poin yang dirasakan indahnya, tapi kebanggaan mempermalukan sang juara bertahan.
Jerman menjadi satu-satunya tim yang menang sempurna di semua laga kualifikasi
Piala Dunia 2018. Namun jejak rekam itu, syukurlah, tak dihiraukan Korsel. Sebaliknya, Korsel yang mencetak sejarah karena inilah pertama kali Jerman bisa kecolongan dua gol pada injury time babak kedua. Enggak pernah gawang Jerman sesial ini.
Korsel jugalah tim Asia pertama yang bisa menyegel Jerman di gelaran Piala Dunia. Disiplin menjaga semua jengkal lapangan dan menutup rapat ruang tembak, diterapkan sempurna oleh pasukan gingseng. Tetapi di atas itu semua, Korsel tidak gentar nama besar Jerman. Semangat serupa, sebelumnya ditunjukkan Meksiko, sesama penghuni grup, sehingga bisa menang 1-0 meski digempur habis-habisan oleh Jerman sepanjang laga.
Korsel jugalah tim Asia pertama yang bisa menyegel Jerman di gelaran Piala Dunia. Disiplin menjaga semua jengkal lapangan dan menutup rapat ruang tembak, diterapkan sempurna oleh pasukan gingseng. Tetapi di atas itu semua, Korsel tidak gentar nama besar Jerman. Semangat serupa, sebelumnya ditunjukkan Meksiko, sesama penghuni grup, sehingga bisa menang 1-0 meski digempur habis-habisan oleh Jerman sepanjang laga.
Nama besar
Jerman dari tahun ke tahun di perhelatan akbar dunia, selalu bisa bikin keder lawan. Belum masuk ke lapangan, pun, tim Jerman mungkin sudah
50 persen memenangi laga. Bayangan nama besar ini terus terpupuk, dibesar-besarkan, serta diiringi sejumlah predikat,
mulai dari tim spesialis turnamen hingga tim yang bermental juara.
Dalam sejarah adu penalti Piala Dunia-yang dimulai dalam Piala Dunia 1978-Jerman sudah melakoni empat kali, dan semua berakhir dengan kemenangan. Jika digabung dengan Piala Eropa, Jerman dua kali menjalani, dan dua kali pula menang. Dengan kata lain, sudah enam kali tim Panzer masuk babak tos-tosan, dan seluruhnya berakhir dengan kemenangan. Kurang beruntung apa, coba, tim Jerman ini.
Dalam sejarah adu penalti Piala Dunia-yang dimulai dalam Piala Dunia 1978-Jerman sudah melakoni empat kali, dan semua berakhir dengan kemenangan. Jika digabung dengan Piala Eropa, Jerman dua kali menjalani, dan dua kali pula menang. Dengan kata lain, sudah enam kali tim Panzer masuk babak tos-tosan, dan seluruhnya berakhir dengan kemenangan. Kurang beruntung apa, coba, tim Jerman ini.
Namun di Rusia, Jerman
disadarkan bahwa victory disease, penyakit kemenangan, itu, memang ada. Jerman sekarang bukan Jerman empat tahun lalu yang lapar gelar tetapi anggota tim Jerman yang sudah puas karena negaranya pernah menggenggam trofi juara, tepatnya piala keempat. Mayoritas pemainnya pun veteran episode Brasil 2014.
Jerman agak lupa melihat sejarah nasib para juara bertahan. Jawara Piala Dunia 2010 yakni Spanyol, misalnya, keok dan tersingkir dalam penyisihan grup Piala Dunia 2014. Demikian juga nasib Italia, juara 2006 yang habis di Piala Dunia 2010. Juga pemenang Piala Dunia 1998 Perancis, yang tidak bisa berbicara banyak di Piala Dunia 2002.
Jerman agak lupa melihat sejarah nasib para juara bertahan. Jawara Piala Dunia 2010 yakni Spanyol, misalnya, keok dan tersingkir dalam penyisihan grup Piala Dunia 2014. Demikian juga nasib Italia, juara 2006 yang habis di Piala Dunia 2010. Juga pemenang Piala Dunia 1998 Perancis, yang tidak bisa berbicara banyak di Piala Dunia 2002.
Jerman memupuk kebanggaan berlebih sehingga mereka tidak sadar meremehkan
kemampuan lawan. Publik Jerman pun, mungkin sudah yakin Jerman menang, apalagi ketika hendak melawan Korsel. Sejak tahun 1990, Jerman sepertinya sangat jarang kalah, dan sangat jarang tidak beruntung. Main
datar-datar aja, tim Jerman menang. Main buruk pun, tim Jerman masih juga bisa menang.
Jerman, baru
bisa kalah jika bersua tim yang benar-benar sedang mengalami masa keemasan.
Seperti Spanyol yang memiliki Xavi dan Iniesta di Piala Dunia 2010 yang mengandaskan Jerman di semifinal, juga di final Piala Eropa 2008. Atau Brasil di Piala Dunia 2002, dengan "sang fenomena" Ronaldo-nya, yang sukses memukul Jerman
di laga puncak dengan skor 2-0.
Italia saat Piala Dunia 1982, dengan Paolo Rossi-nya, juga mengandaskan Jerman 3-1 di partai final. Atau saat masa kejayaan Argentina tahun 1986 kala Piala Dunia digelar di Meksiko. Dengan daya “sihir” Maradona, Jerman takluk 1-0 di final. Jangan lupakan pula kisah tim dinamit Denmark dengan motor Laudrup bersaudara yang sukses merontokkan Jerman 2-0, di final Piala Eropa 1992. Okelah Jerman kalah, tapi ingat, cerita itu pun berarti Jerman menapak banyak final, meski berakhir sebagai finalis.
Italia saat Piala Dunia 1982, dengan Paolo Rossi-nya, juga mengandaskan Jerman 3-1 di partai final. Atau saat masa kejayaan Argentina tahun 1986 kala Piala Dunia digelar di Meksiko. Dengan daya “sihir” Maradona, Jerman takluk 1-0 di final. Jangan lupakan pula kisah tim dinamit Denmark dengan motor Laudrup bersaudara yang sukses merontokkan Jerman 2-0, di final Piala Eropa 1992. Okelah Jerman kalah, tapi ingat, cerita itu pun berarti Jerman menapak banyak final, meski berakhir sebagai finalis.
Tetapi, cerita kekalahan Jerman itu, pun, masih kalah banyak ketimbang jumlah kisah kesuksesan Jerman. Tim ini telah menggapai 8 final Piala Dunia, dan memenangi 4 kali (termasuk saat masih
bernama Jerman Barat). Di gelaran Piala Eropa, Jerman pun sudah mencapai 6 final, dan merengkuh 3
gelar. Kurang apa lagi coba prestasi tim panzer ini.
Panzer
Jerman, identik dengan tim yang performa mesinnya lambat panas, persis mesin diesel kendaraan. Terjemahannya adalah permainan
Jerman biasanya semakin efektif dan efesien dari laga ke laga. Babak penyisihan, Jerman kadang tak mencerminkan bakal bernasib bagus, tapi saat event digelar, Jerman digdaya. Semakin menuju menit ke-90, Jerman semakin mengerikan dalam menyerang. Dan entah “bumbu”-nya
apa, tim Jerman hampir pasti bisa lolos di saat kritis.
Makanya tidak
heran, ketika Jerman terlempar dari perhelatan akbar Piala Dunia 2018, banyak
kawan bersorak dan berbagia. Menangis terharu saking girangnya. Rasanya memang cukup, keberuntungan Jerman. Panzer Jerman sudah
uzur, saatnya diparkir sejenak. Era Jerman, saatnya diganti era tim lain. Pemerataan gelar juara, sepertinya cukup fair. Masa Jerman lagi yang juara, kan enggak seru.
Akan ada banyak analisis, baik sekarang maupun nanti, mengapa Jerman angkat koper lebih cepat di Rusia. Namun satu alasan di antaranya, adalah, Jerman tidak lagi mempunyai striker "killer" seperti Miroslav Klose, Jurgen Klinsmann, atau Oliver Bierhoff. Alasan lain, yang semoga benar, yakni dewi fortuna sedang malas memeluk Jerman. Empat piala dunia, sepertinya cukup dulu bagi Jerman.
Tetapi, jangan lupa, bahwa Jerman tetaplah Jerman. Benar, mungkin inilah skuat Jerman terburuk sepanjang masa. Tetapi ini adalah Jerman. This is Germany. Sisa-sisa “nafas” Jerman masih ada. Salah satunya “Waktu Jerman” tadi, saat melawan Korsel di mana injury time bisa selama itu. Juga saat melawan Swedia. Dalam Piala Dunia 2018, Jerman hanya kurang beruntung, bukan sial. Dan ingat, kekalahan atas Korsel "hanya" terjadi di fase penyisihan grup, bukan di fase gugur, atau final.
Tetapi, jangan lupa, bahwa Jerman tetaplah Jerman. Benar, mungkin inilah skuat Jerman terburuk sepanjang masa. Tetapi ini adalah Jerman. This is Germany. Sisa-sisa “nafas” Jerman masih ada. Salah satunya “Waktu Jerman” tadi, saat melawan Korsel di mana injury time bisa selama itu. Juga saat melawan Swedia. Dalam Piala Dunia 2018, Jerman hanya kurang beruntung, bukan sial. Dan ingat, kekalahan atas Korsel "hanya" terjadi di fase penyisihan grup, bukan di fase gugur, atau final.
Kekalahan Jerman tak usah disesali. Jerman sudah menumpuk banyak kemenangan dan keberuntungan di turnamen besar. Jerman juga sudah bikin menangis banyak timnas-berikut para fans-yang tersingkir dengan gol-gol kontroversial ala Jerman. Jika ada yang belum percaya sebegitu beruntungnya Jerman dalam ajang Piala Dunia, cobalah sejenak menengok edisi Piala Dunia 1990 sampai sekarang.
Kembali ke Rusia. "Panzer-panzer" Jerman sepertinya memang berat melangkah di tanah Rusia tahun ini. Kalau mengulik sejarah, dalam Perang
Dunia II, Jerman pernah melancarkan invasi ke Rusia, lewat Operasi Barbarossa.
Namun gagal. Justru tentara Rusia balik mendesak Jerman sampai ke tanahnya sendiri. Rusia militan. Dan di Piala Dunia 2018, Jerman dikandaskan dua tim militan, Korsel dan Meksiko.
Jadi, apa
yang terjadi selanjutnya di Piala Dunia 2018? Tentu jauh lebih menarik dan membahagiakan karena
Jerman sudah tersingkir. “Bertaruh dalam laga Jerman, kurang seru. Karena bisa
dipastikan Jerman yang menang. Apa serunya bertaruh jika hasil laga bisa ditebak,” kata seorang kawan.
Barangkali,
tim terbaik dunia memang masih Jerman, jika melihat secara keseluruhan apa yang mereka capai di turnamen-turnamen besar, atau laga-laga krusial. Sedangkan tim
terbaik kedua, mungkin juga adalah tim cadangannya. Tapi di Piala Dunia kali ini, lupakan cerita soal tim Jerman.
Jerman sudah pulang kampung, sudah masuk kotak. Bye bye Jerman. Ah, indahnya Piala Dunia 2018 tanpa tim Panzer di babak 16 besar. Setiap pertandingan terasa indah.
Jerman sudah pulang kampung, sudah masuk kotak. Bye bye Jerman. Ah, indahnya Piala Dunia 2018 tanpa tim Panzer di babak 16 besar. Setiap pertandingan terasa indah.
--sambalbawang—penggemar
bola di Balikpapan
AKU DI BELAKANGMU, TIGER WONG
LEBIH BAIK NAIK VESPA
GATOTKACA TAK HANYA OTOT KAWAT BALUNG WESI
THE AQUARIAN ?