Jumat, 25 Agustus 2017

SEGELAS TEH DARI IBUMU

Seraut wajah ayu yang sudah keriput itu, sangat mengenalku. Ah, kembali kuterabas batas hatiku yang semakin menipis. Sore yang aneh. Tatapan mata yang iba itu benar-benar menusuk sampai relung jiwaku. Seakan palu godam, tapi tak jua terhujam.

Gemetar langkah kaki memasuki rumahnya. Wajahku menunduk, dan kepala semakin tertunduk ketika suara tertuju kepadaku. Menata serpihan hati yang diremukkan anakmu, tidak mudah mengucapkan bahwa aku sore ini kembali lagi, mencari buah hatimu.

Kursi kayu ini pun benar-benar terasa panas, seakan aku duduk di atas lembaran seng yang seharian tersengat terik mentari tanpa ampun. Kulihat lagi wajahnya. Senyum di bibirnya, teduh tatapannya, aku tahu engkau pernah dalam situasi seperti ini. Situasi yang sekarang dialami anakmu. Hanya saja, barangkali kisah dan ending-nya berbeda jauh.

Engkau tersenyum lagi. Lembut kau panggil buah hatimu. Gadis 16 tahun, berambut pendek, dengan kerling mata nan jenaka, dan lesung pipit, itu, masih bersembunyi di kamar. Selalu begitu. Samar kudengar suaranya, menjawab panggilan ibunda tercinta. Aku semakin gemetar.

Kursi kuremas kuat, mulut mengatup rapat, keringat dingin mulai mengalir. Aku sebenarnya tidak lagi sanggup menatap wajah sang remaja ini. Masih sedikit sanggup kutatap wajah ibundanya. Tapi menatap dia, sungguh mendebarkan.

Detik serasa menit. Menit serasa jam. Engkau akhirnya menampakkan diri. Duduk di depanku. Mengenakan kaos putih bergambar logo sekolah kita. Tak ada kata terlontar sampai ibundamu memecah keheningan dengan menawarkan membuat minuman teh. Ah, ibu.

Aku mengiyakan. Aku tahu engkau memberiku waktu dan kesempatan untuk berbincang dengan putri tersayangmu. Meski selama sepuluh menit sebelum teh terhidang, nyaris tak ada kata terlontar dari anakmu. Selain tentu saja, menanyakan mengapa aku masih datang.

"Aku datang untuk kamu. Seperti biasa. Aku hanya mencoba datang di hadapanmu," kataku. Kamu terdiam. "Jika kehadiranku tidak membuatmu berkenan, bolehlah kamu anggap kedatanganku hanya untuk menyapa orangtuamu,"

Tak ada reaksi. Aku tahu saatnya pergi. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan dari gadis yang siang-malam kupuja dalam sunyi ini. Kuputuskan pulang. Entah, sore ini adalah kegagalanku yang keberapa untuk mengajakmu membuka suara.

Segelas teh yang telah tersaji, kuminum. Sepet-manis yang pas. Saatnya berpamitan. Ibundamu muncul, dengan tatapan mata yang teduh. "Lain kali datang lagi, ya, dik," katanya. Aku mengangguk pelan. Aku tahu itu hanya untuk menghiburku.

"Pasti, bu," jawabku seriang mungkin meski aku tahu engkau menangkap kesedihanku. Aku pasti akan datang lagi untuk bersilaturahmi denganmu, ibu. Tidak ada yang salah dengan anakmu. Dan tidak ada yang salah juga dengan diriku.

Akhir pertemuan sore itu, ternyata masih berlangsung beberapa menit lagi. Sial. Motor butut yang setia menemaniku, ini, kembali ngambek. Seperti tuannya. "Macet lagi ya dik, skuternya," kata ibundamu dengan tatap mata iba.

Aku hanya bisa mengangguk sembari meringis malu.

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :

"MAMA" by PAULINA, PROYEK LAGU PERTAMA
MENGAPA HARUS NGEBLOG
DI RELUNG KAMARKU (cerpen)
BASA WALIKAN
THE AQUARIAN ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar