Senin, 13 Juni 2016

PELUKAN (cerpen 6)

Aku berjanji padamu untuk menelepon tiap Minggu sore. Selama dua bulan, saat aku harus di luar kota untuk menuntaskan pekerjaan. Kamu hanya mengiyakan, sebatas mengangguk pelan, tanpa memberi kepastian apakah kamu gembira atau tidak.  

Selama dua bulan itu, tujuh kali aku meneleponmu dan tujuh kali mendengar suaramu. Barangkali terdengar biasa jika kamu mengira aku ada di pusat kota. Bukan. Tidakkah kau tahu, menelponmu sungguh memerlukan perjuangan. Bilik telepon terdekat, berarti harus berjalan sekitar 40 menit, lalu disambung menumpang angkot selama 15 menit yang untuk menunggu angkotnya pun paling cepat 10 menit. 

Itu semua sudah kuceritakan padamu. Lengkap dengan apa yang kukerjakan selama tujuh hari. Kuceritakan juga bahwa aku membuat puisi setiap hari, untuk mengingatmu, dan melukiskan kerinduan serta tanda tanya ini.

Hanya satu yang tidak kuceritakan padamu, yakni berapa rupiah biaya percakapan ini. Tahukah kamu kalau aku selalu menutup layar penunjuk biaya yang ada di pesawat telepon berbentuk kotak, terbuat dari besi, dan berwarna biru ini?

Tahukan kamu bahwa meneleponmu berarti banyak memangkas upahku yang tidak seberapa ini? Tahukah kamu bahwa aku memegang erat fotomu saat mendengar suaramu? Dan tahukah kamu kalau aku sudah cukup gembira hanya karena kamu sudi mengangkat telepon dariku. Tahukan kamu bahwa aku selalu menulis namamu di buku? Di sela-sela halaman, pasti ada namamu.

Tahukah kamu kalau aku mau menunggumu tiga tahun? Aku yakin kamu tahu. Tapi tahukah kamu jika adikmu memerhatikanku? Bahkan mencuri-curi kesempatan untuk berbincang denganku? Aku masih ingat ketika adikmu. dengan gaya rambut dikuncir dua, sering celingak-celinguk mencariku di kampus. Gadis kecil berkulit coklat, sedikit pemalu, sama sepertimu.

Tiga tahun pula, adikmu, yang sama manisnya denganmu menginformasikan kabarmu, dan banyak hal tentangmu. Dari kesukaanmu menyantap pecel, kerupuk, atau apa saja lagu-lagu favoritmu, kapan kamu ada di rumah, dan kapan kamu biasanya bersama teman-temanmu.

Kami...maksudku aku dan adikmu, sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk membicarakanmu. Adikmu pun pernah menggambar dalam lembaran bukunya, sebuah jantung hati yang retak, menunjukkannya padaku, meski kemudian tertawa kecil dan menepuk-nepuk tanganku.

Bayangkan sejenak. Adikmu tahu aku amat mendambamu, menginginkanmu. Tapi sang kakak tidak kunjung paham. Tapi aku memang tidak ingin lagi menyoal kepedihan dan kepedihan yang kualami, ketika menatap mata adikmu yang ternyata menyimpan kerinduan. Setumpuk kerinduan sama, seperti rinduku padamu,

"Peluklah, aku, Mas. Untuk kali pertama dan mungkin untuk yang terakhir, karena tak mungkin ku memilikimu. Peluklah aku, lama," kata adikmu kepadaku. Hening. Sepi. Aku melihat senyumnya....teduh...indah.

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
BASA WALIKAN
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019


1 komentar: