Kamis, 09 Juni 2016

PUISI (Cerpen 5)

Seringkali, selepas senja menampakkan diri, aku bertandang ke rumahnya. Sering aku menanti hujan deras karena saat itulah kamu pasti ada di rumah. Meski hujan deras berarti ancaman ngadat bagi motor bututku, namun inilah waktu terbaikku.

Seraut wajah manis itu menyembul dari balik pintu kayu. Seperti malam-malam sebelumnya, Tak ada satu gram senyum riang terpampang. Yang kupandangi adalah satu kilogram senyum nan garing. Aku tak tahu mengapa keriangan itu tak kau miliki.

Tiga puluh menit berlalu tanpa ada obrolan bermutu.Tiga puluh menit terkuras separuhnya hanya karena kamu merasa perlu bolak-balik masuk ke dalam rumah. Ada kebohongan di situ. Aku melihatnya dari semua bahasa tubuhmu.

Aku tidak peduli berapa mobil menghuni garasi rumahmu.Aku tidak peduli berapa hektar tanahmu, atau berapa kuintal emasmu. Aku tidak ambil pusing dengan kampusmu yang terkenal, bahkan aku pun tidak menyoal indahnya namamu.

Tapi aku tidak mengerti, mengapa tatapan indah yang kamu bagi ke teman-temanmu itu, tidak bisa kamu beri kepadaku. Aku tidak mengerti mengapa senyum ceria yang kamu tebar, tidak satupun yang kau layangkan untukku.

Mungkin berbicara denganku akan membuatmu pusing, atau melukai bibirmu yang indah. Atau melelahkan matamu yang lentik itu. Atau bakal merontokkan rambutmu yang terurai. Berbicara denganku, barangkali mengurangi cantikmu.

"Bolehkan aku menyita waktumu, lima menit saja," kataku, ketika tangan mungil itu sepertinya hendak menutup pintu. "Untuk apa?" sahutnya. Aku mengulurkan sebuah buku tulis untukmu, berwarna ungu, kesukaanmu.

"Bacalah, nanti, setelah aku pulang. Ini kumpulan puisi untukmu, ungkapan hatiku," kataku. Dia tak menjawab, hanya memiringkan sedikit kepalanya. Tapi memang aku tidak memerlukan jawaban, ataupun satu kata pun.

Segera kukenakan mantel hujan, menghidupkan motor bututku, dan berlalu dari sini. Aku tak mau membayangkan apa perasaannya, saat tidak menjumpai satu tulisan pun di buku itu. Mungkin marah, mungkin renyah.

Hingga keesokan harinya aku bersua denganmu. "Kamu mempermainkan aku, ya?" ucapmu. Aku terkekeh. "Bagaimana bisa aku mempermainkanmu, jika kamu begitu indah di mataku,". Dia menjawab,"Lalu, apa maksudmu?".

"Puisiku adalah buku itu sendiri, Kamu bilang hobi membaca. Kamu bilang suka menulis cerpen dan puisi.. Aku juga tahu kalau kamu suka warna ungu. Aku pun tahu kamu menyukai gambar sampul buku, yang berupa tokoh kartun itu," sahutku.

Kamu tertegun. Aku berlalu. Aku tidak perlu setumpuk puisi untuk mengungkapkan perasaanku padamu, kawanku yang cantik. Sebab aku sendirilah, puisi itu. Dan maaf, aku tak ada waktu melihat air matamu berjatuhan.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar