Beberapa kali sambalbawang naik ketinting--kapal kayu bermesin tunggal--menyusur sejumlah sungai di Kalimantan Timur dan Utara. Satu sensasi, pastinya. Selalu begitu. Sungai Mahakam, Kayan, Segah, Krayan, Sangatta, adalah beberapa yang pernah sambalbawang susuri. Termasuk juga perairan Derawan, yang nota bene adalah bagian dari Selat Makassar.
Begitu masuk “kokpit” ketinting maupun speedboat, mata ini biasanya langsung mencari di mana life jacket. Sambalbawang cukup bisa berenang (ala-ala sih) namun jelas belum selevel mas-mas pengemudi (motoris) kapal yang sejak kecil akrab dengan sungai dan laut. Bahkan juga tidak semahir anak-anak SD yang sering latihan di kolam renang.
Sebagai manusia yang amat sangat tidak terlalu mahir berenang, level berenang sambalbawang, ada di kategori sangat "beginner". Perenang tipe kolam renang sejati, lah. Berenang yang beneran santai, slow, bahkan mungkin kelewat santai. Tak ketinggalan memakai kacamata renang yang wajib rapat, senam-senam kecil sebelum mencebur, dan hanya menempuh rute sangat pendek. Satu lagi aturan wajib para perenang amatir ini, yakni, jangan terlalu jauh dari tepi kolam.
Karena itulah, sambalbawang sadar diri jangan gegabah jika berurusan dengan air. Entah itu di sungai, laut, maupun kolam renang. Pengalaman empat kali nyaris tenggelam--sekali di laut, tiga kali di kolam renang--saat masih belajar dulu, masih lumayan membekas. Mengingatkan bahwa phobia air belum sepenuhnya sirna.
Dan betul saja, beberapa waktu lalu saat nyemplung di perairan Sangalaki, Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kaltara, itu (tenggelam) hampir saja terjadi. Lelah karena sebelumnya "slulap-slulup" tak kenal waktu di Danau Kakaban, dan perairan Derawan, membuat terlena. Yup betul, ikan-ikan Nemo dkk yang nyelap-nyelip di karang itu sukses membuat lupa waktu.
Sejumlah pari manta yang berada di depan mata, memaksa sambalbawang menepikan lelah yang mendera sejak setengah jam sebelumnya. Segera mencebur ke laut. Seorang warga yang menjadi penunjuk jalan ke mana arah berenang, langsung mengkode untuk cepat mengikutinya. Menunjukkan lagi titik snorkeling yang asyik. Orait. Bungkus !
Asyik bersnorkeling, mas tadi merasa saya bisa ditinggal. Lalu beralihlah dia ke titik lain. Saat itulah baru sadar kalau badan ini sudah 100 meter-an dari spedboat. Perasaan masih tenang. Air tidak masuk kacamata, juga mulut. Namun tiba-tiba paha kanan saya kram. Masih agak tenang. Sambalbawang lalu memutuskan balik ke speedboat.
Namun baru beberapa kayuhan, kramnya tambah kencang. Malah sepertinya perut juga mulai kaku. Panik menyergap. Tenaga mulai terkuras, dan mendadak badan lemas. Barulah terasa bahwa dua kali sesi nyelam santai ber-snorkeling sebelumnya, beneran takaran overdosis bagi sambalbawang. Stamina sudah terkuras separuh duluan, sebelum nyebur ke perairan Sangalaki ini. Kombinasi salah.
Dan, ternyata memang sambalbawang tidak kuat lagi berenang karena sebelah kaki mulai kram. Punggung kaki sudah menekuk-kuk ke bawah. Panik makin menyergap. Tinggal dua tangan yang masih bisa mendayung air, dan itu bukan opsi menarik. Saya lihat mas pemandu kok ya jauhnya 50-an meter. Jarak segitu, mendadak seperti jauh banget.
Akhirnya sambalbawang memilih teriak. “Oi Maaaas, aku kraaam !!”. Tangan melambai ke arah kamera, eh ke si-mas tadi. Syukurlah, dia segera mendengar teriakan parau bin tercekat ini, dan cepat menghampiri. Singkat cerita sambalbawang bisa selamat dipulangkan ke speedboat, tanpa ada kisah sempat tenggelam. Lega.
Lho sebentar, kok bisa mengapung, padahal kan sudah kram? Juga sudah panik, kan? Hm, ya bisa aja, dong, karena sambalbawang memakai.... life jacket. Memakai dengan benar. Jadi badan tinggal disetel mengambang doang sewaktu kram tadi. Ternyata harus gini ya (nyaris kelelep) untuk beneran merasakan manfaat perlunya antisipasi.
Namun, nampaknya di kehidupan nyata seputar transportasi air, life jacket tidak populer. Tiga minggu terakhir misalnya, sudah terjadi tiga kecelakaan sungai di Kaltim dan Kaltara, menimpa dua speedboat dan satu feri kayu. Delapan orang terseret arus.
Tahun 2012 lalu, sebuah kapal juga tenggelam di Sungai Mahakam, Kabupaten Kutai Timur dan merenggut nyawa 28 orang. Astaga. Salah satu benang merahnya adalah, sepertinya banyak penumpang yang tidak mengenakan life jacket.
Seorang yang mahir berenang pernah cerita bahwa kemampuan berenang tak terlalu membantu jika nekat melawan arus deras, maupun dalam kondisi tertentu. Misalnya kepala terbentur benda keras atau kita malah dipeluk orang yang panik karena tidak bisa berenang.
Intinya, untuk bisa berenang tentu harus dalam kondisi sadar dan memahami cara menyelamatkan diri. Tetapi sebelum itu, lebih baik tetap memakai life jacket sebelum mencebur atau tercebur ke air. Tinggi manusia dewasa ada di rentang 150-200 cm.
Dengan kata lain, air kedalaman dua meter di kolam renang pun sudah bisa menenggelamkan manusia. Sambalbawang jadi memahami ketakutan orang pada air sehingga skill berenang tampaknya hanya dikuasai sebagian kecil manusia di bumi.
Banyak teman sambalbawang yang pobia air, bahkan ada di level akut. Benar-benar takut mencebur meskipun itu di kolam renang. Saya sebetulnya ya pobia air karena baru bisa berenang menjelang lulus kuliah. Pobia tingkat tinggi, malah. Beneran, bukan sulap bukan sihir.
Namun karena dorongan beberapa teman dan keinginan menemani bapak tercinta menyelam di dasar kolam renang, akhirnya dalam tempo 3-4 bulan, sambalbawang akhirnya bisa berenang. Namun, jika skill berenang terentang nilai 0-100, nilai sambalbawang adalah (pasti) 30 maksimal. Saking parahnya.
Tapi tak apalah. Setidaknya mengenakan life jacket jika snorkeling di laut, maupun danau, cukup membantu ketenangan diri. Atau jika di kolam renang, ya berenang dekat-dekat tepian. Satu lagi, kacamata renang wajib menempel ke mata. Apalagi jika nyempung kolam renang. Jadi, mari kita berenang dan snorkeling ke sana dan ke sini.
(NB: foto sambalbawang berenang di Derawan akhir 2014)
BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
EVEREST
MENGAPA HARUS NGEBLOG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar