Rabu, 01 Januari 2014

DENGERIN 'TUH PETASAN DENGAN KUPINGMU SENDIRI !!


      Setelah lewat tiga jam, pukul 03.00 tanggal 1 Januari 2014, langit mulai reda dari bunyi petasan yang memekakkan telinga. Setelah beberapa jam sebelumnya sudah terhantam badai bunyi petasan, telinga saya dapat steril kembali.
      Sejujurnya, tidak ada yang terlampau menarik dari perayaan tahun baru. Mungkin, tidak perlu juga dirayakan. Namun memang pesona perayaan pergantian tahun memang demikian. 
      Setidaknya, tetap memelintir gas motor menyisir jalanan kota meski tak lebih 1,5 jam. Sedangkan teman saya, sesama murid padepokan "peremuk tulang" berkomentar, "Mau liat kembang api, tuh banyak di langit".
     Menyoal kembang api, dalam skala besar, yakni petasan, saya sebenarnya tidak setuju itu sebagai hiburan. Bahkan menurut saya, petasan bersuara bak petir muncul mendadak ini, tidak indah.
      Sejak kecil sambalbawang tidak pernah tertarik dengan petasan yang kayak gitu. Saya lebih suka kembang api air mancur dan kembang api tetes. Alasannya sih simpel, yakni lebih murah dan durasinya lama.
    Tidak suka main petasan bukan berarti tidak "berjiwa" nakal. Sejarah masa kecil sambalbawang, tepatnya di rentang kelas 1-4 SD, cukup diwarnai rentetan kisah mbeling. Mulai dari beberapa kali hilang di pasar, hilang di pasar malam, kesasar, sampai dolan ke Madukismo, dan terlambat pulang ke rumah.
      Di pabrik gula itu, sambalbawang sering meloncat meraih batang-batang tebu di bak belakang truk, juga saat lori berjalan (pelan). Pernah pula manjat pohon jambu, terpeleset, dan sampai jatuh. Atau ngebut pakai sepeda, dan mendadak "terjun bebas" masuk selokan. Juga nyemplung ke sawah. Belum termasuk urusan main yang ketika pulang pasti dalam kondisi baju kotor.
      Pernah juga dijewer pak guru karena ketahuan bolos. Tapi ke-mbelingan terbesar sambalbawang adalah tetap saja nonton siarang langsung Liga Champions pada dini hari, meski esoknya menjalani Ebta/Ebtanas. Ibu, tentu saja marah-marah.  
      Ketika menempuh pendidikan di TK, sambalbawang juga hampir drop out sekolah gara-gara menerapkan syarat harus ditemani ibu saat di kelas. Buset, kan. Siapa yang sekolah, coba. Dan ibu mengalah. Bahkan ibu pernah meminta agar sambalbawang jangan dikeluarkan dari sekolah.
      Pengorbanan seorang ibu. Yah, kalau tidak diantar dan ditunggui, sambalbawang waktu itu beneran enggak mau sekolah. Mendingan dirumah atau keluyuran pakai sepeda. Kenakalan saya terhenti ketika ibu saya pingsan, kecapaian. 
      Dari semua kenakalan masa kecil, tak ada yang membahas soal menyalakan petasan. Usut punya usut, ternyata itu dipicu kisah seram. Jadi, ada anak, mungkin seumuran saya, jarinya putus karena nyumet mercon. 
    Nah, apa jadinya jika itu menimpa sambalbawang. Sebagai lelaki kecil yang cukup gape bermain kelereng, dan suka bikin mainan gerobak pakai kulit jeruk bali, dan main karet, kabar itu tentu sangat menakutkan. 
       Menyesal,kah? Oho,ho, ho, tidak. Bangga, malah. Karena sambalbawang bisa berkontribusi menyelamatkan para orangtua yang ketakutan dengan suara mercon. Barangkali bisa kita tanya pendapat mereka. 
     Sambalbawang punya ayah, punya ibu, yang selalu deg-deg-an mendengar suara mercon. Sumpah, itu suara membuat keringat dingin bercucuran. Pernah ayah sampai lari ke luar rumah, menghardik anak-anak yang menyalakan mercon. 
    Tentu saja, sambalbawang mendukung ayahanda. Saya tahu mereka, anak-anak, bayi-bayi itu, belum paham seberapa pentingnya orang tua. Dan mungkin, orangtua mereka dulu juga menyumet mercon. 
    Sambalbawang setidaknya bisa bangga karena tak pernah menyalakan mercon yang memekakkan telinga. Tapi sekaligus prihatin karena mereka yang nyumet mercon, malah menutup telinga sendiri. Bukankah suara keras tujuannya? Kok malah nggak didengerin? 
    Kalian, manusia yang tidak logis. Maaf saja, ya kalian memang tidak rasional.  

BACA JUGA ARTIKEL LAIN :
BASA WALIKAN
BLOGER BALIKPAPAN RAYAKAN HARI BLOGER NASIONAL 2019

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar