Kamu melihatku. Tatapan matamu seakan menyelidik. Seakan pula berharap, entah harapan apa. Harapan yang nantinya berujung uang, atau harapan bahwa sesosok pria di depannya ini bukan seseorang yang akan mengusirnya.
Hani, namanya. Umur 34. Asal dari sebuah kota di Jawa Tengah. Janda satu anak. Tubuh ramping, tinggi 155 cm, kecil mungil, rambut kepang, suara serak, dan sebungkus rokok kretek di tangan. Tangan satunya lagi, menggenggam bungkusan plastik berisi es teh.
"Kita, aku yakin, pernah bersua di suatu tempat," ujarku membuka percakapan. Berharap dia "terpancing" obrolan pembuka ini. Rokoknya tidak jadi disulut. Hani menatapku. "Kamu kah pria itu? Maksudku salah satu pria itu?"
"Sepertinya bukan," kataku. "Namun aku pernah melihatmu. Bersama salah satu kawanku. Mungkin 2-3 tahun lalu. Bukan di sini," jawabku. Sebelum dia membuka mulut, aku berkata lagi, "Salah satu temanmu, yang aku ingat, saat itu berteriak-teriak,"
"Aku tidak tahu kejadian setelah itu. Yang aku ingat, aku langsung ditarik kawanku yang mendadak muncul entah dari mana. Kami segera menyingir dari tempat tersebut," ucapku.
"Tapi aku mengenalmu karena satu jam sebelumnya sempat berbincang denganmu. Kamu sempat menawarkan sepotong tempe goreng dan teh, kepadaku. Meski, yah, berbagi mulut gelas denganmu," kataku pada Hani.
Dia terdiam. "Aku lupa, Banyak pria kutawari minuman karena itu kebiasaanku. Mungkin aku akan rada ingat besok, tapi kalau sekarang, aku lupa," katanya sembari mengangkat bahu. "Nanti deh, kalau ada waktu, kuingat-ingat lagi," ucapmu.
Di sebuah gang sempit, sore itu, aku bersua Hani. Rumah-rumah di sepanjang gang ini, berimpitan. . Sore yang rada ramai. Salah satu "pesertanya" adalah seorang penjual gorengan. Sebut saja Bu Titik.
Bu Titik ini langganan Hani. Dan sore itu, Hani memang sedang menunggunya. Bu Titik, dengan wajah ceria, menurunkan gendongannya, menggelar dagangan. Plastik kresek dibuka. Dua tahu, dua tempe, dua bakwan. Enam atau tujuh cabai, disertakan.
"Aku ditraktir dong," tiba-tiba Hani berkata dengan nada manja. "Ah, tadi kamu kutanya, ketus," sahutku. "Kamu sih pakai nanya-nanya. Ngapain. Sudah tho, Traktir aku donk," katanya sewot. Matanya melotot, lubang hidungnya membesar.
"Oke. Begini perjanjiannya. Kamu kutraktir tapi aku kamu temenin sebentar. Paling 30 menit lagi," kataku membuka penawaran. Dia menjawab, "Oke, deal".. Hani mendatangi tempatku duduk, dan mengambil tempat di sebelahku.
Aku bisa melihat tengkuk dan lekuk kakinya. Dia balik menatap heran. "Ngapain sih kamu liat-lihat," katanya dengan nada bicara sedikit sebal. "Aku pernah melihatmu, dua-tiga tahun lalu. Dan aku hanya bertanya padamu, apakah itu benar?" ujarku.
"Kamu mau bakwan, ini satu untukmu," jawabmu cuek. "Ah sok tahu saja kamu. Emang hanya kamu yang datang menemuiku?" lanjut Hani. Aku mengambil bakwan yang kamu sodorkan. "Matamu bulat. Rambutmu bagus. Kamu baik. Dan kamu semestinya tidak merokok," kataku.
Dia terdiam..Lalu berkata, "Hanya satu orang yang pernah mengatakan kata-kata itu kepadaku. Aku memang pernah bersua denganmu. Tapi mengapa juga kamu menemuiku?"
"Aku tidak berencana menemuimu. Namun aku berada di tempat yang sama pada saat yang sama denganmu, Aku pun tidak tahu apakah akan bersua denganmu lagi. Tapi sebelum aku pergi, bolehkan aku meminta senyummu?"
Hani tambah heran, Memiringkan kepalanya. Menatap aku tak berkedip. Semenit-dua menit. Dia lalu tersenyum renyah, dan berkata, "Apakah aku dulu pernah berkata bahwa suatu saat akan bertemu denganmu?".. Kujawab," Betul."